Dia menilai, Sultan Kasepuhan sah seharusnya memiliki dasar hukum sebagai keturunan sultan yang pernah bertahta di Keraton Kasepuhan. Tjandra meragukan trah bangsawan yang belakangan mengaku sultan hanya ikut-ikutan tanpa disertai dasar hukum yang kuat.
“Monggo saja mau ada 100 orang Sultan Kasepuhan. Akan tetapi perlu diingatkan digarisbawahi bahwa patokan mereka menobatkan diri jumeneng sebagai sultan kasepuhan tidak lain dan tidak bukan hanya berpatokan dari silsilah keluarga saja. Silsilah mereka yang menobatkan diri sebagai suitan adalah silsilah yang belum teruji kebenarannya di depan hukum,” kata Tjandra.
Menurutnya, di negara hukum segala persoalan sengketa harus didasarkan pada mekanisme hukum. Seperti kliennya, Raden Rahardjo Djali diklaim sebagai pemegang amanah dan dinobatkan oleh keluarga besar Kasepuhan asli menjadi Sultan Kasepuhan dengan gelar Sultan Sepuh Aloeda Il.
Baca Juga:Kejari Indramayu Klaim Selamatkan Uang Negara Rp350 Juta, dan Tangkap 3 BuronanHampir Pasti PDIP Usung Fitria Jadi Calon Walikota
“Patut diduga kami selaku kuasa hukum Raden Rahardjo Djali melihat ini fenomena banyaknya orang yang menobatkan diri sebagai Sultan Kasepuhan adalah strategi dari pihak Saudara Luqman Zulkaedin selaku tergugat untuk mengaburkan gugatan yang sudah kami layangkan di PN Cirebon dengan nomer perkara 76/Pdt.G/2021/PN.Cbn, agar gugatan tidak dapat diterima. Hal ini bisa dilihat dari perangkat yang berperan dalam penobatan sultan tidak lain adalah mantan dari perangkat sultan sepuh sebelumnya yang bertahta di Keraton Kasepuhan,” tambah dia.
Padahal, lanjutnya, sudah ada upaya mediasi. Hakim mediator meminta kedua pihak bertemu untuk berdamai, akan tetapi ditolak pihak PRA Luqman Zulkaedin, yang tidak pernah mau dipertemukan oleh Raden H Rahardjo Djali sebagai penggugat. “Dan ini membuktikan tergugat tidak mempunyai itikad baik menyelesaikan perkara,” pungkas Tjandra. (wan)