RAKYATCIREBON.ID, CIREBON – Di tengah mulai membaiknya roda ekonomi, Kota Cirebon berkontribusi sebesar 1,13 persen terhadap perekonomian Jawa Barat. Adapun sektor yang dominan menunjang pertumbuhan ekonomi adalah perdagangan besar dan eceran, jasa keuangan dan asuransi, transportasi dan pergudangan, industri pengolahan, serta konstruksi.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Cirebon, Hestu Wibowo mengatakan, pada tahun 2021, Kota Cirebon mencatatkan pertumbuhan eknomi terbesar ketiga di wilayah Ciayumajakuning setelah Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan.
Kota Cirebon di bulan Maret 2022 mencatatkan inflasi sebesar 0,64 persen sehingga secara kumulatif dari Desember 2021 sampai dengan Maret 2022 terjadi inflasi sebesar 1,35 persen . Adapun secara tahunan tercatat sebesar 2,96 persen.
Baca Juga:Sekda Kaget DTKSNaik 100 Persen, Minta Laporan KadinsosCairan Tubuh Berkurang, Donor Darah saat Puasa Cukup Berisiko
“Realisasi inflasi kali ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata 5 tahun sebelumnya untuk periode yang sama,” kata Hestu.
Andil inflasi kali ini berasal dari kenaikan sejumlah harga komoditas seperti telur ayam ras, bahan bakar rumah tangga, cabai merah, pemeliharaan, dan pepaya. Sementara itu, beberapa komoditas lainnya mengalami koreksi harga seperti daging ayam ras, daun bawang, rempela hati ayam, buncis, dan susu bubuk.
Kondisi ini masih berada di kisaran sasaran inflasi tahun 2022, yaitu di rentang 3,0±1 persen. Sebagai upaya menekan laju inflasi selama Ramadan dan menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Fitri terdapat strategi pengendalian inflasi yang dapat dilakukan oleh TPID Kota Cirebon.
Kegiatan pengendalian inflasi yang dilakukan antara lain melalui operasi pasar, iklan layanan masyarakat berupa himbauan belanja bijak dengan melibatkan tokoh masyarakat serta melakukan sidak pasar. Kondisi stabilitas sistem keuangan daerah pada Tw 1-2022 masih terjaga.
Kinerja intermediasi perbankan masih cukup baik yang terindikasi dengan meningkatnya pertumbuhan kredit konsumsi dan investasi serta ditopang oleh pertumbuhan kredit untuk sektor UMKM. Pertumbuhan kredit tersebut diikuti dengan penurunan kualitas kredit yang tercermin dari kenaikan NPL sebesar 2,54 persen dari sebelumnya 2,39 persen.
Namun demikian, kenaikan NPL tersebut cukup wajar karena masih di bawah 5 persen,” tambah Hestu.
Sementara itu, pertumbuhan (dana pihak ketiga) DPK mengalami penurunan karena masyarakat masih dalam kondisi berjaga-jaga di tengah tren suku bunga yang rendah dan ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi sehingga menyebabkan kenaikan sejumlah harga komoditas. (wan)