FGD Sempat Ricuh

SULIT AKSES Sudah 17 Tahun Warga Desa Penyangga di Kuningan dan Majalengka kehilangan Akses pemungutan hasil hutan bukan kayu di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
SULIT AKSES Sudah 17 Tahun Warga Desa Penyangga di Kuningan dan Majalengka kehilangan Akses pemungutan hasil hutan bukan kayu di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
0 Komentar

RAKYATCIREBON.ID – Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, menindak lanjuti usulan perubahan zonasi, dari masyarakat desa penyangga Kuningan dan Majalengka,  dengan menggelar Focus Group Discussion, di Aula Kecamatan Pasawahan pada jumat lalu.

Melalui FGD, Kepala BTNGC Teguh Setiawan berusaha tak memungkiri, usulan masyarakat ini menuai Pro Kontra, termasuk dari aktivis lingkungan.  Pihaknya menegaskan akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyak dari semua pihak. Ia pun memastikan  BTNGC berdiri ditengah (netral), dalam menyikapi polemik tersebut.

 FGD yang dihadiri Kelompok Tani Hutan (KTH) dari 24 Desa penyangga, Kepala Desa, Paguyuban Silihwangi majakuning, akademisi, pegiat lingkungan, LSM AKAR dan sejumlah undangan sempat diwarnai kericuhan.

Baca Juga:Safari Ramadan di Dukuh Badag, Bupati Tebar SembakoBerharap BLT Bisa Meringankan Beban

Menanggapi kericuhan ini, Teguh meluruskan, ketegangan merupakan hal biasa dalam berdiskusi.

“Tadi bukan insiden,  itu biasa dalam berdiskusi, agak menghangat, sebenarnya itu bukan antara masyarakat dengan Akar. Tetapi ketika Akar menyampaikan pendapat itu berbeda dengan yang masyarakat inginkan. Tadi kita luruskan pendapat-pendapat tersebut, masyarakat menganggap kami sangat pro ke pegiat lingkungan, padahal nggak, kami berdiri ditengah-tengah.” jelasnya.

Dari hasil FGD ini lanjut dia, BTNGC berharap seluruh pendapat yang dihimpun terdapat titik temu, ‘win win solutions’. Karena pengelolaan kolaburasi tidak berbicara kalah atau menang. Tetapi sama-sama harus menang.

Menyikapi desakan usulan perubahan zonasi hingga pembukaan zona Tradisional, Kepala Balai menegaskan proses perubahan ini harus berjalan sesuai aturan, baik legal maupun formal, dan legitimate, artinya diakui oleh semua pihak.

“Ini yang perlu kehati-hatian kami dalam melangkah, wajib mendengarkan semua pihak, kita masukan semua pendapat, dan berikutnya kita akan mengadakan konsultasi publik. Pada konsultasi publik sama kita dengarkan pendapat tetapi lebih luas lagi. Termasuk mengundang pemerintah dan legislatif,” terangnya.

Hasil FGD tersebut menghasilkan kesepakatan, terkait akses, terkait masyarakatnya, dan komoditas hasil hutan bukan kayu yang dapat diambil warga.

Usai FGD, Ketua Paguyuban Silihwangi Majakuning, Eddy Syukur mengatakan, pemanfaatan HHBK sudah diatur dan diperbolehkan berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

0 Komentar