RAKCER.ID – Kepindahan politisi Demokrat, Drs H Nashrudin Azis SH yang saat ini menjadi walikota Cirebon ke PDIP, menyisakan tanda tanya. Apalagi, Azis meloncat ke parpol yang notabene dua kali pilkada menjadi rivalnya.
Kasak-kusuk kemungkinan menarik mandat Azis sebagai walikota Cirebon dari Partai Demokrat pun mulai bermunculan. Apakah ada kemungkinan atau ketentuan semacam ‘tarik mandat’ dari parpol yang dulu mengusung dan mendukungnya, sebagai akibat dari perpindahannya ke PDIP?
KPU Kota Cirebon angkat bicara terkait aturan undang-undang seperti kasus Walikota Cirebon Nashrudin Azis yang pindah dari Partai Demokrat yang mengusungnya sebagai walikota ke partai lain, yakni PDIP.
Ketua KPU Kota Cirebon, Dr Didi Nursidi SH menyampaikan, meskipun legislatif dan eksekutif sama-sama jabatan politik, namun ada perbedaan di antara keduanya. Untuk eksekutif, dalam hal ini kursi kepala daerah, tidak bisa diatur sepenuhnya oleh parpol pengusung. Karena tidak sepenuhnya maju atas nama parpol tertentu.
Menurut UU Pemilu, kata Didi, calon pasangan kepala daerah itu diusung oleh parpol, gabungan parpol, atau perseorangan. Bahkan, bisa saja sosok dengan elektabilitas tinggi non parpol, digaet parpol atau gabungan parpol untuk maju di pilkada.
Maka dari itu, berbeda dengan legislatif yang 100 persen kader partai, dan berangkat maju menjadi representasi parpol, posisi eksekutif tidak terpengaruh dengan kepindahan sosok ke parpol lain. Bahkan ke parpol yang dulu sama sekali tidak mendukung atau mengusung dirinya.
Menurut Undang-undang, pergantian posisi kepala daerah hanya bisa dilakukan dengan alasan-alasan tertentu. Seperti meninggal, mengundurkan diri hingga berhalangan tetap. Tidak ada unsur alasan diganti selain itu. Termasuk permintaan dari gabungan parpol pengusung.
“Kepala daerah itu pencalonannya diajukan parpol atau gabungan parpol atau perseorangan. Kebetulan Walikota Cirebon saat pencalonan pilkada diajukan oleh gabungan parpol. Jadi walikota bukan kader dari semua parpol yang mengusungnya. Posisi eksekutif tidak kenal PAW,” ungkap Didi.
Kondisi eksekutif, lanjut Didi, berbeda dengan legislatif. Jika legislatif calon-calonnya 100 persen representasi dari satu parpol. Dan di sana mengenal PAW jika parpolnya menghendaki. Dengan alasan tertentu.