Selama berdakwah di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Pakungwati, putri dari Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman, penguasa Cirebon saat itu.
Di sana, ia mendirikan sebuah pondok pesantren, lalu mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar. Para santri di sana memanggilnya dengan julukan Maulana Jati atau Syekh Jati. Selain itu, ia juga mendapatkan gelar Sunan Gunung Jati karena berdakwah di daerah pegunungan.
Pelajari mengenai Sunan Gunung Jati atau Raden Syarif Hidayatullah melalui buku Wali Sanga: Sunan Gunung Jati yang ditulis oleh Nabila Anwar.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Baca Juga:Ternyata Ini Alasan Kenapa Wali Songo Tidak Mengislamkan Bali10 Kata Kata Mutiara Islami Tentang Kematian, Pengingat Akan Akhirat
Sunan Ampel memiliki nama asli Raden Rahmat. Ia memulai dakwahnya dari sebuah pondok pesantren yang didirikan di Ampel Denta, Surabaya.
Ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Sunan Ampel memiliki murid yang mengikuti jejak dakwahnya, yaitu Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.
Suatu ketika, Sunan Ampel diberi tanah oleh Prabu Brawijaya di daerah Ampel Denta. Ia lantas mendirikan sebuah masjid.
Di sana, masjid tersebut dijaga oleh Mbah Sholeh. Ia sangat terkenal sebagai orang yang selalu menjaga kebersihan. Hal itu juga diakui oleh Sunan Ampel.
Hingga suatu hari, Mbah Sholeh meninggal dunia. Ia lantas dimakamkan di samping masjid.
Sepeninggal Mbah Sholeh, Sunan Ampel tak kunjung menemukan pengganti penjaga masjid yang serajin Mbah Sholeh.
Akibatnya, masjid tak terurus dan kotor. Sunan Ampel kemudian bergumam, “Seandainya Mbah Sholeh masih hidup, pasti masjidnya jadi bersih.”
Baca Juga:Ide Kostum Walisongo dan Adat Jawa Untuk Acara Adat dan Perayaan Besar IslamSelain Untuk Hiasan, Ternyata Daun Walisongo Miliki 5 Manfaat untuk Kesehatan
Seketika itu pula sosok serupa Mbah Sholeh muncul. Ia lantas menjalankan rutinitas yang biasa dilakukan Mbah Sholeh, namun tak lama kemudian meninggal lagi dan dimakamkan persis di samping makam Mbah Sholeh.
Peristiwa itu terulang hingga sembilan kali. Konon, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel meninggal dunia.
Metode dakwah dari Kanjeng Sunan Ampel terkenal dengan keunikannya dimana ia melakukan upaya akulturasi dan asimilasi dari aspek budaya pra-Islam dengan Islam, baik melalui jalan sosial, budaya, politik, ekonomi, mistik, kultus, ritual, tradi keagamaan, maupun konsep sufisme yang khas untuk merefleksikan keragaman tradisi muslim secara keseluruhan yang dibahas pada buku Mazhab Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel.