CIREBON, RAKCER.ID – Indonesia menghadapi dilema dalam industri nikel yang mana negara ini berusaha untuk menjaga harga nikel di pasar internasional pada level yang rendah. Tujuan dari kebijakan harga ini adalah untuk memberikan keuntungan bagi produsen kendaraan listrik, yang mendapatkan keuntungan dari biaya bahan baku yang lebih murah. Namun, kebijakan ini membawa risiko defisit pasokan di pasar global.
Pada penutupan perdagangan terakhir di London Metal Exchange (LME) pada Jumat, 1 Maret 2024, harga nikel mencapai US$17,486 per ton, menandakan kenaikan pada hari itu. Walaupun mengalami kenaikan, harga nikel telah mengalami penurunan sebesar 43,5% sejak awal tahun hingga saat ini.
Penurunan harga ini berakar pada fakta bahwa pasokan nikel dari Indonesia telah mendominasi hingga separuh dari pasaran dunia, sebagai hasil dari kebijakan hilirisasi yang agresif yang diterapkan oleh negara ini selama beberapa tahun terakhir. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah industri nikel dalam negeri tetapi juga memiliki efek samping berupa penurunan harga nikel di pasar global.
Baca Juga:Presiden Jokowi Memprediksi Penurunan Harga Beras dalam Satu Bulan MendatangWaspadai Skema Penipuan Berkedok Komisi Affiliate
Indonesia, dengan sengaja menjaga harga nikel tetap rendah, bertujuan untuk mendukung perkembangan industri kendaraan listrik, yang merupakan salah satu penerima manfaat utama dari biaya rendah nikel. Hal ini menimbulkan dilema mengenai bagaimana mengelola industri nikel nasional yang penting untuk ekonomi, sementara juga harus menghadapi tantangan dalam hal pemberian izin tambang yang seringkali terkendala, memperumit upaya untuk mempertahankan pasokan yang stabil bagi pasar global.
Situasi ini menyoroti tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam memanfaatkan secara penuh potensi industri nikelnya, sambil menjaga keseimbangan antara harga pasar global, kebutuhan domestik, dan konservasi lingkungan.