CIREBON,RAKCER.ID – Ketupat, anyaman kecil berbahan daun kelapa muda ini, tak bisa dilepaskan dari kemeriahan Lebaran, terutama di Indonesia. Lebih dari sekedar hidangan, ketupat menyimpan sejarah panjang yang berkelindan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya.
Ketupat yang menjelma menjadi tradisi unik yang tak lekang oleh waktu:
Jejak Ketupat di Nusantara
Perkiraan awal kemunculan ketupat di Nusantara dirunut pada era Kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Kala itu, masyarakat mengenal Dewi Sri sebagai dewi padi yang dipuja untuk hasil panen berlimpah. Upacara sesajen yang melibatkan ketupat menjadi bagian dari ritual tersebut.
Teori lain menyebutkan keberadaan ketupat di masa sebelum penyebaran Islam. Kata “kupat” sendiri diperkirakan berasal dari bahasa Jawa Kuno, “kapa” yang berarti “menyelimuti” dan “t” sebagai akhiran. Ini merujuk pada proses pembuatan ketupat, dimana beras dibungkus daun kelapa muda.
Baca Juga:Resep Lontong Sayur Betawi Lengkap dengan Lauk Pauknya, Spesial untuk LebaranPerforma Itel P55 5G Diuji! Apakah Cukup Ngebut untuk Gaming?
Dakwah Sunan Kalijaga dan Kelahiran Lebaran Ketupat
Memasuki abad ke-15, peran Wali Songo dalam penyebaran Islam di Nusantara kian masif. Salah satu tokoh kunci, Sunan Kalijaga, dikenal dengan pendekatan dakwah yang akomodatif terhadap budaya lokal. Konon, beliau memandang tradisi ketupat sebagai sarana yang tepat untuk mendekatkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa yang masih kental dengan kepercayaan animisme.
Sunan Kalijaga diyakini sebagai sosok yang memperkenalkan tradisi Lebaran Ketupat, dirayakan seminggu setelah Idul Fitri. Lebaran Ketupat, atau kerap disebut Syawalan, menjadi penanda berakhirnya rangkaian ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, ditambah puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Filosofi Ketupat: Makna Tersembunyi di Balik Anyaman
Lebih dari sekedar hidangan, ketupat sarat dengan makna filosofis. Bentuknya yang menyerupai kiblat atau bujur sangkar dimaknai sebagai petunjuk arah dalam beribadah. Anyaman daun kelapa yang rumit melambangkan kompleksitas kehidupan sosial masyarakat Jawa yang perlu dijalin dengan tali silaturahmi yang kuat.
Beras yang menjadi isian ketupat sering dikaitkan dengan “ngaku lepat” atau mengakui kesalahan. Hal ini selaras dengan semangat Lebaran yang penuh maaf dan ampunan. Sementara daun kelapa muda yang digunakan untuk membungkus, dalam bahasa Jawa disebut “janur,” memiliki arti “Jatining nur” yang berarti “hati nurani.” Ini menjadi simbolisasi untuk senantiasa menjaga niat baik dan kebersihan hati.