Melalui cerita dan pengalaman para penggerak perdamaian yang berbagi di acara ini, diharapkan buku ini dapat menginspirasi lebih banyak perempuan untuk berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang lebih toleran dan damai.
Beberapa tokoh perempuan juga menyampaikan pandangan mereka terkait tantangan dan upaya dalam memperjuangkan peran perempuan dan nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat yang semakin kompleks.
Ketiga narasumber tersebut membahas berbagai isu mulai dari penguatan komunitas adat, peran perempuan dalam mewujudkan perdamaian, hingga pentingnya regenerasi pemuda dalam mengedepankan pendidikan dan toleransi.
Baca Juga:Ingin Liburan Hemat? Cek Tanggal Merah Tahun 2025 untuk Liburan TerbaikmuFarmhouse Chic! 8 Ide Drawer Kayu untuk Menambah Karakter Hunian Anda
Penguatan Mental Anak Adat yang Terdiskriminasi
Juwita Djatikusumah memulai diskusi dengan menekankan pentingnya perempuan sebagai pilar peradaban manusia. Ia mengungkapkan bahwa kontribusi perempuan dalam masyarakat menjadi fondasi bagi peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan.
“Saya hanya melaksanakan apa yang bisa dilaksanakan. Perempuan itu adalah kunci dari kualitas peradaban manusia berlandaskan pada rasa rumasa, bagaimana kita bisa saling menguatkan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya kembali pada nilai-nilai kemanusiaan, khususnya dalam memikirkan ulang konsep toleransi dan solidaritas.
Salah satu fokus utamanya adalah memberikan penguatan mental bagi anak-anak adat yang sering kali mengalami diskriminasi. Ia meyakini bahwa penguatan ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan sosial yang ada di masyarakat saat ini.
Membangun Jembatan Dialog untuk Keadilan Gender dan Perdamaian
Sementara itu Alifatul Arifiati yang dikenal aktif dalam memperjuangkan isu keadilan gender dan perdamaian, menyampaikan bahwa salah satu cara efektif dalam mengatasi masalah eksklusivitas di masyarakat adalah dengan membangun ruang-ruang dialog. Ia percaya bahwa semakin eksklusif masyarakat, semakin penting untuk membuka ruang pertemuan antara komunitas yang berbeda.
“Saya suka mengenal banyak orang dan komunitas. Jadi, ketika kita melihat semakin tebal eksklusivitas di masyarakat, saya banyak membangun ruang-ruang pertemuan dan dialog, itu yang paling penting,” tuturnya.
Namun, ia juga mengakui adanya hambatan, termasuk stigma liberal yang sering disematkan padanya. Selain itu, perhatian masyarakat terhadap isu perdamaian dan toleransi di media sosial yang seringkali bersifat musiman juga menjadi tantangan tersendiri.