CIREBON, RAKCER.ID – Perkembangan ilmu komunikasi semakin pesat dalam beberapa tahun terakhir, merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia.
Salah satu bidang kajian yang semakin penting adalah komunikasi lintas budaya, terutama dalam konteks keberagaman masyarakat.
Keanekaragaman suku, etnis, dan agama dalam perspektif komunikasi lintas budaya menjadi elemen fundamental dalam membangun harmoni sosial, bukan pemicu konflik sebagaimana yang kerap diasumsikan oleh sebagian akademisi Barat.
Baca Juga:Pemanfaatan Sampah Sayuran di Pasar Jagasatru: Langkah Bijak Kurangi Sampah dan Meningkatkan Gizi HewanDPRD Kabupaten Cirebon Gelar Audiensi Bahas Polemik Revitalisasi Pasar Desa Jungjang
Fakta sosial saat ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tetap hidup dalam kerukunan meskipun memiliki latar belakang yang beragam. Keadaan ini bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa konflik sosial muncul akibat perbedaan etnis dan agama.
Pandangan ini berseberangan dengan gagasan yang diperkenalkan oleh sejumlah pemikir Barat, salah satunya Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).
Sejalan dengan kajian tersebut, Sitti Maesurah, akademisi asal Bugis, Sulawesi Selatan, siap menghadapi ujian promosi doktoral di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas) pada Selasa (25/2).
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone ini meneliti fenomena interaksi sosial dalam disertasinya yang berjudul “Bugis Perantau dan Warga Lokal: Studi Integrasi Etnis di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Komunikasi Antar Budaya.”
“Saya bersyukur dapat mengikuti ujian doktor ini. Mohon doa agar prosesnya berjalan lancar,” kata Maesurah, yang merupakan istri dari Umar S Klau (USK), anggota DPRD Kota Cirebon dari Fraksi PDI Perjuangan, Senin (24/2).
Maesurah memilih tema tersebut berdasarkan temuan menarik di Kabupaten Malaka, NTT, di mana banyak perantau Bugis yang telah menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat, mayoritas sebagai pedagang.
Meskipun terdapat perbedaan budaya, latar belakang, dan agama, hubungan antara perantau Bugis dan warga lokal tetap harmonis tanpa konflik.
Baca Juga:Usai Dilantik, Lucky Hakim-Syaefudin Langsung Tancap Gas Bangun Kabupaten IndramayuKeluhan Lurah dan RW se-Kota Cirebon Soal Data Klampid, DPRD Kota Cirebon Cari Solusi Bersama Disdukcapil
“Yang membuat perantau Bugis di Malaka berbeda adalah kemampuan adaptasi mereka yang luar biasa. Mereka bisa dengan cepat memahami budaya setempat, menjalin hubungan yang erat, serta saling menghargai satu sama lain,” ujarnya.