CIREBON, RAKCER.ID – Dirilis saat Lebaran 2025 oleh Visinema Studios, Jumbo bukan sekadar film animasi keluarga. Ia adalah pelipur lara dan suntikan semangat dalam satu sajian. Dengan lebih dari 2 juta penonton sejak debutnya, film ini menorehkan sejarah sebagai animasi Indonesia terlaris sepanjang masa.
Jumbo hadir sebagai oase di tengah dominasi horor yang menyelimuti bioskop Tanah Air. Ia tak sekadar menawarkan tawa, tetapi mengajak penonton dari berbagai generasi untuk merenung—tentang luka lama, tentang memaafkan, dan tentang kekuatan harapan.
Karakter Don, misalnya, adalah potret nyata dari seorang anak yang bertumbuh di tengah olok-olok karena tubuhnya. Ia bukan pahlawan sempurna. Ia pernah salah, pernah berdebat dengan Nurman, sahabatnya. Tapi justru di sanalah letak kekuatannya ia belajar, ia bangkit, dan ia terus mencoba.
Baca Juga:Tarif Timbal Balik Donald Trump yang Bikin Dunia Dagang Panik!De-Coupling: Saat Cina dan AS Mutusin Cerai Ekonomi di Depan Dunia
Visual, Suara, dan Jiwa yang Hidup
Kekuatan Jumbo tak hanya pada ceritanya, tetapi juga pada detil visual dan suara. Bayangkan tekstur kayu pada radio tua yang seolah bisa kamu sentuh. Atau ekspresi Don yang nyaris seperti manusia sungguhan. Semua itu dikerjakan oleh lebih dari 400 kreator selama lima tahun.
Jajaran pengisi suara pun bukan main. Nama-nama besar seperti Bunga Citra Lestari, Ariel Noah, dan Cinta Laura ikut memberi nyawa pada karakter-karakternya. Hasilnya? Media asing seperti Variety dan The Express Tribune pun angkat topi.
Bukan Hanya Dongeng: Ini Soal Perjuangan Animasi Indonesia
Jumbo bukan datang dari ruang hampa. Ia bagian dari sejarah panjang animasi Indonesia, yang jejaknya bisa ditelusuri sejak era wayang dan relief candi. Meski sudah mengenal animasi sejak 1933, perkembangan industri ini berjalan lambat, penuh liku dan tantangan.
Nama-nama seperti Dukut Hendronoto, Suyadi (Pak Raden), dan studio Anima Indah menjadi pionir sejak 1950-an hingga 1980-an. Lalu, semangat itu sempat redup, digerus popularitas animasi Jepang dan Barat.
Namun asa tak pernah benar-benar padam. Pada 2000-an, film seperti Si Juki dan Nussa membuktikan bahwa animasi lokal bisa bersuara. Sayangnya, tak semua mendapat panggung. Battle of Surabaya dan Knight Kris, meski artistik dan ambisius, harus puas dengan angka penonton yang kecil.