Kartini Menghadapi Patriarki, Kita Menghadapi Teman yang Bilang Kenapa Belum Menikah?

Kartini Menghadapi Patriarki, Kita Menghadapi Teman yang Bilang Kenapa Belum Menikah?
Ilustrasi Kartini. Foto: pinterest/rakcer.id
0 Komentar

CIREBON, RAKCER.ID – Setiap kali bulan April datang, nama Kartini kembali menggema. Sosok perempuan dari Jepara ini dikenal sebagai pionir emansipasi wanita di Indonesia. Tapi pernah nggak sih kamu mikir, kalau Kartini hidup di zaman sekarang, apa yang bakal dia perjuangkan?

Bisa jadi dia bukan cuma menulis surat ke sahabat Belanda-nya, tapi juga bikin thread panjang di Twitter soal standar ganda perempuan zaman now.

Dari Penjara Tradisi ke Tekanan Sosial Digital

Kartini hidup di masa di mana perempuan dilarang sekolah tinggi, dibatasi ruang geraknya, bahkan dikurung dalam sistem pingitan. Dia berani bertanya dan menulis melawan dengan pena.

Baca Juga:Kartini Nulis Surat, Kita Nulis Caption! Apa Masih Sama Semangatnya?6 Inspirasi Kitchen Set Letter L, Bikin Dapur Gen Z Makin Estetik dan Fungsional!

Sementara kita, generasi yang katanya sudah merdeka, masih harus bertarung dengan pertanyaan klise: “Kapan nikah?” seolah-olah keberhasilan seorang perempuan cuma bisa diukur dari cincin di jari manis.

Psikolog sosial Dr. Fanny Syarif, M.Psi. pernah menyampaikan bahwa tekanan sosial seperti pertanyaan “kapan menikah” termasuk microaggression, yaitu bentuk tekanan halus tapi berulang, yang bisa memengaruhi kesehatan mental perempuan secara jangka panjang. “Pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi, tapi mencerminkan standar masyarakat yang belum selesai berdamai dengan pilihan hidup perempuan”.

Kartini Lawan Patriarki, Kita Lawan Ekspektasi

Zaman Kartini, patriarki hadir dalam bentuk nyata: aturan keluarga, adat, hingga negara yang mengunci perempuan dari akses pendidikan dan kebebasan berekspresi.

Hari ini, bentuk patriarki itu lebih halus, tapi tetap nyata. Ia menyelinap dalam komentar “perempuan jangan terlalu ambisius,” atau “perempuan tuh kodratnya ngurus rumah.”

Menurut Prof. Saras Dewi, dosen Filsafat Universitas Indonesia, patriarki masa kini justru lebih berbahaya karena dianggap normal. Bentuk kontrol terhadap perempuan hari ini justru lebih terselubung melalui media, budaya populer, bahkan relasi sehari-hari yang membuat perempuan mempertanyakan pilihan hidupnya sendiri.

Menolak Standar Ganda, Melanjutkan Semangat Kartini

Kartini nggak pernah menolak kodrat sebagai perempuan. Tapi dia menolak ketika kodrat itu dijadikan batas. Nah, kita bisa belajar dari situ. Menikah itu baik, punya anak itu indah, tapi hidup perempuan nggak berhenti di dua hal itu saja. Dan perempuan punya hak untuk menentukan waktu, cara, dan bahkan apakah ia ingin menikah atau tidak tanpa harus dibayang-bayangi tatapan tajam tante di kondangan.

0 Komentar