CIREBON, RAKCER.ID – Setiap tanggal 21 April, kita berlomba-lomba posting foto Kartini, pakai kebaya virtual (filter IG maksudnya), dan nulis caption panjang berisi kata-kata bijak.
Tapi pernahkah kita benar-benar duduk sejenak dan bertanya semangat Kartini yang nulis surat ke Belanda demi pendidikan perempuan, apa masih hidup di jempol-jempol kita yang sibuk ngetik caption galau?
Dari Pena Kartini ke Kamera Depan
Kartini menulis surat bukan buat konten. Ia menulis karena marah—marah yang elegan. Tentang ketimpangan, tentang perempuan yang dianggap tak butuh sekolah, tentang kebebasan yang hanya jadi wacana. Ia curhat, iya. Tapi bukan curhat “kok dia ghosting sih”, melainkan “mengapa perempuan tidak boleh bermimpi?”
Baca Juga:6 Inspirasi Kitchen Set Letter L, Bikin Dapur Gen Z Makin Estetik dan Fungsional!Kitchen Letter L, Dapur Minimalis Estetik Ala Gen Z yang Bikin Masak Jadi Healing
Sekarang, kita juga suka nulis. Tapi bentuknya caption, status, thread X (Twitter yang rebranding tapi tetap suka error).
Temanya? Kadang tentang perempuan juga, tapi seringnya tentang skincare, kopi, dan “self-love” yang dijadikan alasan buat belanja 4 juta di tanggal tua.
Apakah ini salah? Enggak juga, tapi menarik untuk direnungkan apakah semangat Kartini yang nulis buat mengubah nasib, masih terasa dalam nulis kita yang lebih sering cari likes?
Caption Bijak vs Aksi Nyata
Setiap tahun, quotes Kartini seperti “Habis Gelap Terbitlah Terang” muncul di mana-mana. Estetik, dipadukan dengan bunga-bunga dan font yang terlalu melengkung. Tapi, kalau Kartini masih hidup, mungkin dia akan bertanya, “Terangnya di mana ya? Kok masih banyak perempuan yang dibully karena ambil S2, dibilang nanti enggak laku?” atau bahkan soal pilihan bekerja dirumah padahal lulusan Kampus ternama.
Iya, kita hidup di zaman yang berbeda. Tapi tantangannya? Masih nyambung. Masih ada yang nganggep perempuan pintar itu “ketinggian standar”. Masih banyak yang bingung bedain ambisi sama sombong. Dan yang paling sedih lagi masih banyak perempuan yang diam karena takut dicap cerewet.
Kartini menulis buat melawan itu semua. Kita? Kadang lebih sibuk menulis buat “engagement rate“. Maksudnya adalah dimana zaman sekarang, kalau mau viral yang dilirik pertama adalah engagement rate berapa orang yang like, comment, share, dan save.