Peringatan Hari Kartini: Saatnya Berpikir Kritis, Bukan Hanya Tentang Estetika

Peringatan Hari Kartini: Saatnya Berpikir Kritis, Bukan Hanya Tentang Estetika
Peringatan Hari Kartini. Foto: Pinterest/rakcer.id
0 Komentar

CIREBON, RAKCER.ID – Setiap bulan April, wajah Raden Ajeng Kartini kembali hadir dalam rupa flyer, spanduk, lomba berkebaya, hingga parade anak-anak bersanggul di sekolah.

Perayaannya meriah, tetapi sayangnya seringkali berhenti di permukaan. Kartini dirayakan, namun belum tentu dipahami. Semangatnya diabadikan dalam desain grafis, tetapi esensi perjuangannya kerap luput dari pembacaan yang kritis dan reflektif.

Padahal, Kartini bukan hanya sosok perempuan berkebaya yang patuh pada budaya. Ia adalah penulis dan pemikir progresif yang gelisah terhadap sistem yang membelenggu perempuan.

Baca Juga:Kartini Menghadapi Patriarki, Kita Menghadapi Teman yang Bilang Kenapa Belum Menikah?Kartini Nulis Surat, Kita Nulis Caption! Apa Masih Sama Semangatnya?

Lewat surat-suratnya kepada sahabat-sahabat Eropa, Kartini menyuarakan kritik terhadap feodalisme, kolonialisme, dan subordinasi perempuan yang terjadi dalam masyarakatnya.

Kartini dan Politik Pengetahuan

Menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Kartini bisa disebut sebagai pionir intelektual perempuan Indonesia. Ia menulis bukan sekadar mencurahkan isi hati, tetapi menyusun kritik sosial yang tajam terhadap realitas zamannya. Ia mempertanyakan mengapa perempuan tak diberi ruang untuk mengenyam pendidikan tinggi. Ia menolak pandangan bahwa perempuan hanya sebatas “konco wingking”.

Dalam konteks itu, Kartini bukan sekadar simbol femininitas Jawa yang santun, tetapi representasi dari resistensi intelektual terhadap tatanan patriarkis. Maka menjadi ironis ketika perayaan Hari Kartini justru dibingkai dalam kerangka konservatif yang mengedepankan penampilan dan kesopanan semu, tanpa menyentuh substansi perjuangannya.

Ketika Semangatnya Diubah Menjadi Seremoni

Fenomena “flyerisasi” Kartini bukan hal baru. Setiap tahun, momentum peringatannya dibanjiri oleh konten-konten visual bertema “emansipasi”, tetapi minim refleksi. Alih-alih mengangkat perdebatan kritis soal kesetaraan gender, partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, atau akses pendidikan yang setara, perayaan Kartini terjebak dalam kegiatan simbolik dan seremonial.

Pertanyaannya: apakah ini bentuk penghormatan, atau justru penyederhanaan sejarah yang disengaja?

Kartini bukan hanya memperjuangkan akses pendidikan, tetapi juga menantang struktur sosial yang meminggirkan perempuan. Namun kini, ketika perempuan masih harus menghadapi stereotip “kodrat” di ruang kerja, perundungan di dunia maya, hingga tekanan sosial bertajuk “kenapa belum menikah?”, perjuangan Kartini terasa jauh dari kata selesai.

0 Komentar