JAKARTA, RAKCER.ID – Sebagai bentuk respons, PB IKA PMII akan menggelar Seminar Nasional dan Focused Group Discussion (FGD) bertajuk “Meneguhkan Posisi Pesantren di Tengah Sentralisasi Pendidikan dalam RUU Sisdiknas” pada 12–13 Mei 2025 di Hotel Luminor Pecenongan, Jakarta Pusat. Acara ini akan menjadi forum strategis yang mempertemukan Komisi X dan VIII DPR RI, pakar pendidikan, tokoh pesantren, serta akademisi lintas lembaga.
Polemik Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) kembali mencuat. PB Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) menganggap RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 ini berpotensi mengancam eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan khas Indonesia.
Ketua Umum PB IKA PMII, Fathan Subchi, menegaskan bahwa pesantren harus dilibatkan aktif dalam proses legislasi pendidikan. Ia mengkritisi pendekatan teknokratik yang dianggap tidak sesuai dengan realitas lembaga pendidikan berbasis nilai seperti pesantren.
Baca Juga:Mau Kerja di Luar Negeri? Jangan Berangkat Sebelum Baca Ini! Bisa-Bisa Nyesel Seumur Hidup5 Bahasa Asing Paling Gampang Dipelajari, No. 3 Bikin Kamu Kelihatan Elegan!
“Pendidikan bukan milik negara semata, melainkan hasil kerja kolektif masyarakat. Pesantren tidak bisa diseragamkan dengan lembaga lain yang berbasis teknokratik,” tegas Fathan.
Fathan menyebutkan bahwa jika RUU Sisdiknas diberlakukan tanpa pendekatan adil dan inklusif, pesantren akan menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya:
1. Hilangnya kurikulum khas pesantren;
2. Beban administratif seperti akreditasi dan pelaporan;
3. Keterbatasan SDM pesantren untuk mengikuti prosedur formal.
FGD ini akan membahas berbagai isu penting seperti:
1. Evaluasi terhadap naskah akademik RUU Sisdiknas;
2. Ancaman homogenisasi kurikulum nasional terhadap pesantren;
3. Strategi advokasi legislasi berbasis nilai-nilai keislaman;
4. Hak dan kewajiban pesantren dalam sistem pendidikan nasional;
5. Model partisipasi komunitas pesantren dalam perumusan kebijakan.
PB IKA PMII juga menyoroti minimnya pelibatan komunitas pesantren dalam penyusunan RUU. “Diskusi cenderung elitis dan teknis. Kalau suara pesantren tidak didengar, kebijakan yang lahir bisa jauh dari realitas,” kata Fathan.
Dalam pernyataannya, PB IKA PMII menegaskan bahwa pesantren bukan hanya institusi pendidikan, melainkan juga bagian dari sejarah perjuangan bangsa, penjaga nilai-nilai moral, serta pelestari kearifan lokal.
“Modernisasi pendidikan jangan sampai memutus akar tradisi dan spiritualitas. Regulasi nasional harus memperkuat kekayaan lokal, bukan menyingkirkannya,” pungkas Fathan.