JAKARTA, RAKCER.ID – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998 sebagai “rumor”, bukan hanya keliru secara faktual, tetapi juga kejam secara moral.
Ini bukan sekadar bentuk penyangkalan, tetapi sebuah kekerasan simbolik yang menyayat kembali luka kolektif bangsa luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya.
Di tengah harapan akan hadirnya negara yang berpihak pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, pernyataan seperti ini justru menegaskan bahwa ingatan kolektif bangsa sedang dibajak oleh kepentingan politik sesaat.
Baca Juga:AHY Dukung Full Proyek Tanggul Laut Raksasa! 'Jangan Tunggu Bencana Datang Baru Kita Bergerak'Bukan Cuma Proyek, Ini Soal Nasib Bangsa! AHY dan Prabowo Siap Bangun Tanggul Laut Raksasa Penyelamat PanturaÂ
Tragedi Mei 1998 bukan sekadar soal keruntuhan Orde Baru, tetapi juga titik balik sejarah yang memperlihatkan wajah kelam kekuasaan bagaimana tubuh, suara, dan hak rakyat terutama perempuan dirampas secara sistematis.
Di tengah kekacauan politik saat itu, perempuan, khususnya dari etnis Tionghoa, menjadi sasaran amuk massa.
Mereka tidak hanya dilukai secara fisik, tetapi juga diperkosa dan direndahkan martabatnya. Tubuh perempuan dijadikan simbol pelampiasan kebencian rasial dan seksisme akut.
Kini, lebih dari dua dekade kemudian luka itu hendak dihapus dari sejarah seolah tak pernah ada.
Ini bukan hanya bentuk pengingkaran terhadap kebenaran, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
Padahal, Presiden BJ Habibie secara terbuka menyatakan penyesalan atas kekerasan tersebut dalam pidatonya di DPR pada 14 Agustus 1998.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan sebagian besar dilakukan secara berkelompok, dan mayoritas korbannya adalah perempuan Tionghoa.
Baca Juga:China, Korea, hingga Belanda Ngebet Ikut Proyek Tanggul Laut Rp1.297 T! Prabowo Bikin Dunia KagumPantura Terancam Tenggelam? AHY Gencar Gaet Belanda Bangun Tanggul Laut Seharga Rp1.297 Triliun!
Laporan ini tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Komnas Perempuan juga mencatat sejak 1999 bahwa sebagian besar korban memilih bungkam karena trauma dan tekanan sosial yang berlapis.
Menyebut kekerasan seksual Mei 1998 sebagai “rumor” adalah bentuk kekerasan lanjutan. Ini bukan hanya melecehkan para penyintas, tetapi juga membungkam kebenaran sejarah.
Ketua Bidang Hukum dan Advokasi KOPRI PB PMII, Juwita Tri Utami menegaskan bahwa penyangkalan atas kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 adalah bagian dari proyek impunitas yang sistematis upaya menghapus sejarah dari tubuh perempuan.
“Seolah perjuangan hanya dimonopoli oleh elit politik laki-laki. Ketika tubuh perempuan dijadikan arena kekuasaan, lalu sejarahnya dihapus, maka negara telah melakukan kekerasan dua kali lipat terhadap para penyintas,” tegas Juwita.