Menurutnya, menulis sejarah butuh waktu, riset mendalam, dan diskusi panjang. Ia khawatir, jika dilakukan dengan tergesa-gesa, kualitas isi sejarah akan menjadi dangkal dan tidak akurat.
Truman juga mengkritik arah penulisan yang disusun berdasarkan arahan penguasa, bukan dari hasil diskusi para akademisi. Ia menilai pendekatan semacam ini membuka ruang untuk kepentingan politik dalam narasi sejarah.
Penulisan sejarah, katanya, seharusnya murni berdasarkan data, kajian ilmiah, dan perspektif kritis.
Baca Juga:Biar Dilirik HRD! Begini Cara Bikin CV Kreatif di Canva Tanpa Ribet DesainJangan Asal Upload! Ini Panduan Lengkap Desain Feed Instagram Estetik dan Profesional dengan Canva
Ia menambahkan bahwa kerangka isi buku bahkan sudah ditentukan dari luar, bukan dirancang oleh tim penulis sendiri.
Hal ini, menurutnya, menunjukkan kemunduran dalam kebebasan akademik.
Selain itu, ia menilai narasi yang dibangun terlalu glorifikatif, hanya menonjolkan kebesaran bangsa tanpa menyentuh sisi-sisi kelam dalam perjalanan sejarah Indonesia, seperti tragedi Mei 1998.
Bagi Truman, sejarah bukan sekadar kisah kejayaan, tetapi juga harus berani mengungkapkan kebenaran meski pahit.
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon membela proyek ini sebagai langkah penting untuk memperbarui cara pandang terhadap sejarah nasional.
Ia menyebut bahwa penulisan ulang sejarah ini bertujuan menghapus bias kolonial dan menegaskan sudut pandang bangsa sendiri.
Dalam rapat bersama Komisi X DPR RI, 26 Mei lalu, Fadli menyampaikan bahwa lebih dari 100 sejarawan dari berbagai universitas turut dilibatkan.
Proyek ini ditargetkan menghasilkan 10 jilid buku yang membentang dari masa awal Nusantara hingga era Reformasi.
Baca Juga:
Namun, keputusan Truman untuk mundur memicu pertanyaan lebih luas tentang sejauh mana proyek ini mengedepankan objektivitas dan integritas akademik. Ia menegaskan bahwa sejarah harus tetap menjadi milik ilmu pengetahuan, bukan alat legitimasi kekuasaan.
“Kalau sejarah dijadikan alat politik, yang kita hasilkan bukan cermin masa lalu, tapi ilusi masa depan,” pungkasnya.