Akhirnya, saya menemukan buku yang cukup sulit namun sangat berpengaruh, yaitu The Intelligent Investor. Dari buku itu, saya memahami bagaimana pasar saham bekerja dan bagaimana menilai harga intrinsik sebuah saham.
Sejak tahun 2015 hingga sebelum pandemi 2020, saya adalah seorang investor fundamental garis keras. Bukan berarti saya tidak mencoba analisis teknikal, namun bagi saya, saham selalu saya pandang sebagai representasi dari sebuah bisnis.
Pada tahun 2020, saya mulai membuat konten di YouTube dan TikTok. Saat itu, saya masih menggunakan pakaian sederhana dan membahas konsep-konsep seperti Price to Earning Ratio dan Price to Book Value.
Baca Juga:Bikin Kaget! Penipu Terbesar Dalam Sejarah Crypto: Sam-Bankman FriedCara Memahami Saham untuk Pemula Dalam 30 Menit, Simak Yuk Penjelasannya
Seiring bertambahnya portofolio dan jumlah pengikut saya, saya mulai bertemu langsung dengan para pemain besar di pasar modal—analis sekuritas, bos sekuritas, bahkan direktur asset management. Dari sinilah perspektif saya mulai berubah.
Dulu, saya sangat percaya pada analisa teknikal. Saya percaya bisa mencari titik support dan resistance untuk menentukan kapan harus beli atau breakout.
Namun, belakangan saya melihat bahwa analisa teknikal sering digunakan oleh bandar untuk menjebak investor ritel. Mereka bisa memantau garis-garis yang digambar oleh ritel, lalu memanipulasi pergerakan harga untuk memancing aksi beli atau jual.
Saya percaya bahwa dalam jangka panjang saham akan kembali ke nilai intrinsiknya. Tapi keyakinan ini hanya berlaku pada saham-saham tertentu dan di pasar yang efisien. Berdasarkan teori Efficient Market Hypothesis dari Eugene Fama, disebutkan bahwa harga pasar mencerminkan semua informasi yang tersedia.
Namun, dalam praktiknya, terutama di Indonesia, pasar jauh dari efisien. Banyak pihak memiliki akses informasi jauh lebih cepat daripada investor ritel.
Sebagai contoh, sebelum informasi korporasi muncul di platform seperti RTI, sudah banyak pihak yang lebih dulu mengetahui rencana aksi korporasi, seperti right issue atau aksi merger. Hal ini adalah bentuk insider trading, dan secara hukum sebenarnya dilarang.
Namun, di Indonesia, praktik seperti ini sangat lumrah. Pegawai sekuritas bahkan sering menggunakan akun atas nama keluarga untuk melakukan transaksi agar tidak terdeteksi.