CIREBON, RAKCER.ID – Di era digital yang serba cepat, di mana informasi mengalir tanpa henti, kita dihadapkan pada sebuah paradoks. Akses terhadap informasi yang begitu mudah, namun kebenaran itu sendiri seolah semakin sulit digenggam. Fenomena ini dikenal dengan istilah post-truth atau pasca-kebenaran.
Pada artikel ini, kita akan belajar memahami era post-truth dan bahaya misinformasi yang menyertainya.
Apa Itu Post-Truth?
Post-truth merupakan sebuah kondisi di mana fakta objektif menjadi kurang penting dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosional dan keyakinan pribadi.
Baca Juga:Ancaman Deepfake di Media Sosial: Bahaya dan Cara MengatasiBatasan Usia Bermedia Sosial: Mengapa Penting dan Bagaimana Penerapannya?
Post-truth bukan berarti “tidak ada kebenaran”, namun merujuk pada situasi di mana kebenaran faktual dikesampingkan secara efektif. Dalam era ini, narasi yang paling resonan secara emosional atau yang paling sesuai dengan pandangan pribadi seseorang akan lebih mudah diterima, bahkan jika narasi tersebut tidak didukung oleh bukti yang kuat.
Apa itu Misinformasi dan Disinformasi?
Untuk memahami post-truth, kita perlu membedakan antara misinformasi dan disinformasi:
Misinformasi: informasi salah atau tidak akurat yang disebarkan tanpa adanya niat jahat untuk menipu. Contohnya, seseorang yang membagikan berita yang ternyata salah tanpa menyadarinya.
Disinformasi: Informasi salah yang sengaja dibuat dan disebarkan unyuk menyesatkan, menipu, atau merugikan. Hal ini seringkali didorong oleh motif politik atau keuangan.
Dalam praktiknya, misinformasi dapat menjadi jembatan bagi penyebaran disinformasi. Sebuah disinformasi yang dibuat dengan niat jahat dapat dengan mudah berubah menjadi misinformasi setelah disebarkan oleh orang-orang yang tidak mengetahui kebenarannya.
Mekanisme Penyebaran di Era Digital
Media sosial adalah lingkungan yang sempurna bagi berkembangnya post-truth dan misinformasi. Beberapa faktor utamanya meliputi:
Algoritma
Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, di mana konten yang memicu emosi kuat cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi dan akhirnya disebarkan lebih luas, bahkan jika konten tersebut belum diketahui kebenarannya.
Baca Juga:Detoks Media Sosial: Mengapa Penting dan Bagaimana Memulainya?Perbedaan Douyin dan TikTok: Lebih dari Sekadar Nama yang Berbeda
Gelembung Filter (Filter Bubble)
Algoritma cenderung menyajikan konten yangs esuai dengan minat dan pandangan pengguna. Hal ini menciptakan “gelembung informasi” di mana kita hanya terpapar pada sudut pandang yang sama, memperkuat keyakinan yang ada dan membatasi paparan ide-ide dan pandangan yang bebeda.