Aktif di Jurnal Internasional, Dosen Paling Senior IAIN Cirebon Jadi Guru Besar

Dosen paling senior IAIN Cirebon, Dr H Suteja MA menyandang guru besar
GURU BESAR. Dr H Suteja MAg resmi menyandang gelar guru besar bidang Ilmu Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Gelarnya bertambah menjadi Prof Dr H Suteja MA. FOTO: SUWANDI/RAKYAT CIREBON
0 Komentar

RAKCER.ID – Dosen paling senior IAIN Cirebon, Dr H Suteja MAg resmi menyandang gelar guru besar bidang Ilmu Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Setelah meraih guru besar, kini dosen paling senior IAIN Cirebon itu memiliki nama lengkap dan gelar menjadi Prof Dr H Suteja MA.
Kepastian bahwa Prof Dr H Suteja MA, dosen paling senior IAIN Cirebon tersebut menyandang guru besar, diperoleh setelah SK Menteri Agama Nomor: 039306/B.II/3 2022 turun pada 1 Oktober 2022.
Suteja merupakan dosen paling senior di IAIN Cirebon. Suteja meraih gelar guru besar dengan angka kredit 887,300. Selama memangku jabatan tersebut, Suteja diberikan tunjangan jabatan Rp1.350.000.
Suteja memaparkan, proses yang dia lalui untuk menempuh gelar guru besar tergolong panjang. Namun begitu, berkat KUM yang tergolong besar sejak menjabat lektor kepala, Suteja hanya perlu melengkapi kekurangannya.
“Prosesnya kan karena saya sudah golongan 4 c ke guru besar itu tidak berat tabungannya KUM-nya,” jelas dia.
Dia menjabarkan, berkat gemar menulis memudahkannya menyusun tulisan di jurnal internasional. Suteja telah melahirkan lebih dari 30 karya ilmiah.
“Alhamdulillah saya tertib bikin tulisan di jurnal. Saya nguji, jadi promotor, jadi pembimbing di S3,” katanya.
Suteja menjabarkan, setelah berhasil menjadi guru besar dia tetap ingin menulis jurnal internasional Scopus.
Dia menulis di jurnal internasional bertajuk Pendidikan Islam Berbasis Kearifan Lokal. Tema ini menurutnya sangat relevan dengan kultur keislaman di Indonesia.
Sebab, kearifan lokal merupakan instrumen penting dalam moderasi beragama. Dengan kearifan lokal dapat memperkuat pendidikan karakter.
“Itu instrumen untuk membentuk moderasi beragama harus dibekali dengan kearifan lokal. Karena akhlakul karimah harus memperhatikan kearifan lokal,” jelasnya.
Suteja menuturkan, di dalam kurikulum pendidikan harus memuat kearifan lokal. Substansi kearifan lokal dalam pendidikan Islam tergolong luas.
“Ada di pendidikan dasar misalnya permainan tradisional. Itu banyak yang mengandung nilai-nilai kebajikan. Jangan sampai anak kecil tidak tahu masyarakatnya,” tutur dia.
Bagi Suteja, kearifan lokal dapat menunjang efektivitas penguatan nilai-nilai moderasi beragama. “Jangan sampai anak-anak kita lebih kenal power ranger dari pada kuda lumping atau lebih kenal ice cream dari pada es serut,” tambahnya.

0 Komentar