RAKYATCIREBON.ID – Pemkab Majalengka merencanakan mengubah nama jalan di kota dengan nama bupati dari masa ke masa. Bupati Majalengka, Karna Sobahi menyatakan, rencana itu muncul setelah dirinya mendapatkan usulan di tengah-tengah peninjauan Taman Sejarah. Adapun di Taman Sejarah terdapat 24 nama bupati termasuk dirinya yang terpampang di batu prasasti depan taman tersebut.
“Ada usul, bahwa nama-nama jalan di Majalengka juga diganti dengan nama-nama bupati,” ungkap Karna Sobahi, Sabtu (8/1).
Namun hal tersebut menurutnya harus dibicarakan terlebih dahulu dengan legislatif, apakah nantinya perencanaan tersebut diterima. Seperti diketahui, Bupati Majalengka, Karna Sobahi saat ini menjadi orang ke-24 yang menjabat sebagai kepala daerah di Majalengka.
Baca Juga:Diskopdagperin Menerima Kunker DPRD Kota TanggerangKejar Target, Anak 6-11 Tahun Sudah Bisa Divaksin
Sebelumnya, menurut pegiat Grup Madjalengka Baheula (Grumala) Naro mengatakan, setiap nama jalan di Majalengka memiliki latar belakang penamaan. Di dekat Pendopo Majalengka tepatnya di Kelurahan Majalengka Wetan, terdapat jalan yang disebut dengan Jalan Bhayangkara dengan panjang sekitar 50 meter.
Penamaan jalan Bhayangkara itu disinyalir berawal dari dibangunnya kantor polisi yang berada di lahan ruas jalan itu. Kantor polisi sendiri dibangun saat masa Bupati Majalengka ke-13, Rd Moch Nur Atmadibrata.
“Ada catatan dalam buku Sewindu di Majalengka Maret 1950-Maret 1958 yang merupakan catatan Bupati Majalengka ke 13, Rd Moch Nur Atmadibrata disebutkan bahwa beliau (bupati) membangun kantor polisi di daerah yang sekarang disebut Jalan Bhayangkara itu. Itu seperti catatan dari ME Tedjasukmana yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi Negara Republik Darurat Kabupaten Majalengka. kalau sekarang mungkin namanya Kapolres Majalengka,” kata Naro.
Pembangunan kantor polisi sendiri dilakukan sekitar tahun 1950. Keberadaan kantor polisi di Jalan Bhayangkara itu, jelas dia setelah kondisi tanah air dinyatakan aman, ketika penjajahan Belanda berakhir.
“Sebelumnya kan, saat masa perlawanan terhadap penjajah itu, posnya pindah-pindah, sifatnya sementara. Menyesuaikan dengan lokasi gerilya. Ketika selesai gerilya, ya otomatis pos itu tidak digunakan lagi,” jelas dia.
Dalam beberapa literatur disebutkan polisi menggunakan rumah warga sebagai Pos. Seperti di Desa Sindang Kecamatan Sindang, menggunakan rumah kuwu setempat yang saat itu dijabat Mama Atmasantana.