RAKYATCIREBON.ID – Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022, tentang Jaminan Hari Tua (JHT) yang hanya bisa dicairkan setelah usia pekerja mencapai 56 tahun juga menuai reaksi dari sejumlah tokoh di Majalengka.
Mereka menilai peraturan tersebut dinilai sangat merugikan para pekerja atau buruh, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini. Sehingga banyak pihak yang meminta agar peraturan tersebut dikaji ulang demi rasa keadilan masyarakat khususnya pekerja.
Ketua Mitcon Indonesia, Ir H Dadan Taufik SH MH MKn yang juga wakil Ketua Peradi Kabupaten Majalengka mengatakan, pada dasarnya JHT merupakan hak pekerja yang diambil dari penyisihan gaji mereka setiap bulan. Tujuanya kata dia, sebagai dana jaminan saat masa pensiun atau saat hari tua.
Baca Juga:Lima Pelaku Pencurian Modus Nakes DiringkusWabup Ridho Tutup Bakti Sosial IMK di Padarama
Sehingga kemungkinan hal itu yang menjadi dasar pemikiran pemerintah, sehingga mengeluarkan peraturan dalam rangka melindungi kepentingan pekerja atau buruh saat masa tua. Namun yang perlu di ingat, aturan pembatasan usia dinilai tidak relevan dan perlu dikaji ulang.
“Misalnya jika ada pekerja yang belum memasuki masa pensiun atau sebelum usia 56 tahun kemudian meninggal dunia, atau di PHK saat usia 40 tahun. Meski secara aturan uang JHT tersebut memang tidak hilang, namun tentunya akan memberatkan pekerja. Apalagi JHT pada dasarnya adalah gaji pekerja yang disisihkan setiap bulan,” ujar Dadan, Senin (14/2).
Hal senada juga diungkapkan Fajar Sidik, Ketua DPC PPP Majalengka. Politisi muda Majalengka tersebut menilai mungkin tujuan pemerintah pada dasarnya baik, untuk melindungi masa tua para pekerja setelah pensiun. Namun dengan pembatasan usia pekerja untuk pencairan, jelas menjadi masalah dan mencederai rasa keadilan bagi para pekerja.
Sehingga pihaknya meminta agar Permenaker tersebut dikaji ulang, atau direvisi bahkan bila perlu dicabut dan dikembalikan pada Permenaker sebelumnya. Dimana JHT bisa dicairkan para pekerja paling cepat 1 bulan setelah pensiun atau setelah PHK.
Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, hal itu akan sangat merugikan para pekerja atau buruh yang harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan hak.
“Ada baiknya Permenaker tersebut dikaji ulang, atau dicabut dan dikembalikan pada Permenaker sebelumnya, apalagi Permenaker ini mengundang reaksi keras dari para buruh dan serikat pekerja lainya,” pungkas Fajar. (pai)