Menurut UU Pemilu, lanjut Didi, calon pasangan kepala daerah itu diusung oleh parpol, gabungan parpol, atau perseorangan. Bahkan, bisa saja sosok dengan elektabilitas tinggi non parpol, digaet parpol atau gabungan parpol untuk maju di pilkada.
Maka dari itu, berbeda dengan legislatif yang 100 persen kader partai, dan berangkat maju menjadi representasi parpol, posisi eksekutif tidak terpengaruh dengan kepindahan sosok ke parpol lain. Bahkan ke parpol yang dulu sama sekali tidak mendukung atau mengusung dirinya.
Menurut Undang-undang, pergantian posisi kepala daerah hanya bisa dilakukan dengan alasan-alasan tertentu. Seperti meninggal, mengundurkan diri hingga berhalangan tetap. Tidak ada unsur alasan diganti selain itu. Termasuk permintaan dari gabungan parpol pengusung.
“Kepala daerah itu pencalonannya diajukan parpol atau gabungan parpol atau perseorangan. Kebetulan Walikota Cirebon saat pencalonan pilkada diajukan oleh gabungan parpol. Jadi walikota bukan kader dari semua parpol yang mengusungnya. Posisi eksekutif tidak kenal PAW,” ungkap Didi.
Kondisi eksekutif, lanjut Didi, berbeda dengan legislatif. Jika legislatif calon-calonnya 100 persen representasi dari satu parpol. Dan di sana mengenal PAW jika parpolnya menghendaki. Dengan alasan tertentu.
Namun beda soal jika Walikota Cirebon yang saat ini berbaju PDIP maju mencalonkan diri ikut tahapan pendaftaran calon DPR dan DPRD. Jika demikian, maka walikota harus mundur dari jabatannya sebagai kepala daerah. Itupun jika ke depan ditetapkan sebagai Daftar Calon Tetap (DCT).
“Kepindahan partai Walikota Cirebon, tidak berpengaruh pada posisi kepala daerah yang diduduki. Yang berpengaruh itu, nanti ketika mencalonkan dan ditetapkan sebagai calon anggota legislatif. Tapi PKPU pencalonan belum ada. Paling Maret, baru PKPU pencalonan DPD yang sudah ada. Menurut tahapan dan jadwal, pendaftaran DPR, DPRD Provinsi dan daerah, akhir April, tanggal 24 April sampai 25 November 2023,” jelasnya. (*)