Dampak positif kebijakan terkait sungai di era kolonial tersebut di antaranya pembangunan awal fasilitas rumah sakit pada 1916. Yakni Rumah Sakit bersalin Pamitran, program penyediaan air bersih, serta program kebersihan kota melalui pembangunan drainase dan Septitank.
Sementara dampak negatifnya, sungai-sungai dijadikan semata sebagai alat untuk memperlancar eksplotasi hasil bumi di Cirebon, serta dijadikan sebatas alat pembuangan air untuk pengendalian banjir.
Menyambung pemaparan Rifki, Kang Ipul, Budayawan Cirebon, menerangkap aspek relasional antara manusia dan eksisitensi sungai dalam kebudayaan Cirebon.
Baca Juga:Konten Intoleransi Mendominasi, Ini Pesan Staf Khusus Menteri AgamaPerkuat Tri Dharma Perguruan Tinggi, 7 Rektor PTKIN Bertemu di FGD
“Manusia itu terbuat dari salah satunya unsurnya yakni air. Juga Cirebon, yang dari asal muasal sejarahnya itu ‘Ci atau Cai’ yang artinya ‘Air’, dan ‘Rebon’ itu udang,” ungkap pria yang sehari-hari aktif menjabat sebagai ketua Lembaga Seni Budaya (Lesbumi) NU Kota Cirebon.
Kang Ipul menjelaskan betapa hidup manusia bergantung pada air. Di Cirebon sendiri masih banyak upacara adat penghormatan terhadap air seperti Kawin Cai, Nyadran dan lain-lain, namun demikian sudah tidak lagi punya makna tinggal simbolnya saja.
Padahal, kelestarian air itu bagian dari keseimbangan alam. Oleh karenanya, diperlukan tindakan yang segara dalam menggerakan konservasi alam pada ekosistem tanah dan sungai, agar sejalan dengan prinsip-prinsip kebudayaan dalam merawat alam. (*)