Dia memang dipercaya untuk mengurus satu rumah cukup besar yakni dua kali ukuran tipe 36 dengan luas halaman rumahnya mencapai (kira-kira) 300 meter persegi. Hanya saja, karena dia tinggal sendirian, maka yang bagian depan rumah hingga dapur terpaksa disekat demi kenyamanan si pengontrak rumah.
Wahyu Hermawan (49 tahun) demikian nama lengkapnya. Dia tinggal di bagian dapur atau bagian belakang rumah permanen. Bahkan, karena dia kerap merasa tak nyaman dengan si pengontrak rumah, dia sengaja membuat dapur semi permanen menggunakan dinding terpal dan pagar. Atapnya memang masih menggunakan genteng dari tanah liat.
Rutinitas kehidupan Wahyu memang cukup sulit dan merepotkan. Begitulah pandangan umum masyarakat, sekaligus dibenarkan oleh diri Wahyu sendiri.
Baca Juga:Semakin Banyak Kasus, Dinkes Majalengka Berikan Perawatan Gratis untuk Pasien KustaRelawan Pantura Prabowo-Yusril untuk Indonesia Raya Terbentuk
Sebelum beraktivitas untuk mencari kebutuhan agar bisa makan, Wahyu Hermawan harus keluar rumah. Kerjanya serabutan. Namun, dia punya jadwal tetap yakni membersihkan makam yang tak jauh dari rumahnya setiap hari Rabu dan Kamis, dari pagi hingga usai Dzuhur.
Dari kerjanya itu, terkadang Wahyu ada yang memberi uang, ada juga yang memberi dalam bentuk barang dan makanan seperti sembako. Namun terkadang tak ada yang memberi, meskipun lebih sering ada yang memberi. Rutinitas lainnya, Wahyu sering hadir dalam acara tahlilan, karena pulangnya nanti pasti dapat bingkisan.
“Kadang ada yang ngasih, terkadang gak ada. Tapi kalau tahlilan saya pasti dapat bingkisan makanan,” ucapnya, sewaktu berbincang di teras belakang tempat tinggalnya, Sabtu, akhir Oktober 2023 lalu.
Wahyu menceritakan bahwa dulu dia mulai terjangkit Kusta pada tahun 2010. Dia divonis oleh dokter sebagai pasien Kusta dengan ciri-ciri jari tangannya semakin mengecil dan mengeras kaku, sehingga sulit digerakkan.
“Hingga saat ini, jemari tangan saya ditutup pakai sarung tangan atau selotip,” ujarnya.
Sarung tangan atau selotip (hansaplast) untuk kedua tangannya. Sementara di bagian kaki, Wahyu selalu mengenakan sepatu boot. Sepatu boot ini hanya akan melepaskannya ketika mau tidur.
“Terkadang saya tidur pakai sepatu boot, tapi lebih sering saya copot,” ungkapnya.
Baca Juga:Siap Buktikan Taat Regulasi, 3 Desa Siap Jadi Percontohan AntikorupsiGagal Bayar Bukan Hanya Salah Pemkab, Dewan Turut Andil
Divonis sebagai pasien Kusta, membuat Wahyu sadar diri bahwa harus ada jarak dengan tetangga dan saudaranya. Tahun 2010 dan 2011 sampai tahun 2020, waktu itu masih ada ibunya untuk menyediakan makan dan minum serta kebutuhan lainnya. Selepas ibunya meninggal, Wahyu tinggal sendirian. Kakak-kakaknya sudah berkeluarga, dia sendiri merupakan bungsu di keluarga itu.