CIREBON, RAKCER.ID – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa hilirisasi mineral, khususnya batu bara, merupakan salah satu tantangan yang sulit dicapai di Indonesia. Hilirisasi merupakan proyek kebanggan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi Indonesia. Namun, terbatasnya teknologi yang mampu mengeksekusi proyek ini menjadi salah satu faktor penghambat program hilirisasi.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif, menyatakan bahwa meningkatkan nilai tambah dari hilirisasi atau gasifikasi batu bara dalam negeri sangat sulit dilakukan karena terbatasnya teknologi untuk mengeksekusi program tersebut. Irwandy menuturkan bahwa perusahaan batu bara, seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), yang hendak melakukan hilirisasi batu bara dalam negeri terhambat oleh teknologi yang terbatas.
Menurutnya, untuk mencapai program hilirisasi batu bara yang optimal, Indonesia memerlukan teknologi dari perusahaan luar negeri. Sebagai contoh, teknologi RKEF dari China digunakan untuk nikel, sedangkan HPAL juga dari China digunakan untuk pembuatan baterai. Namun, teknologi tersebut memerlukan investasi yang besar dan perusahaan tidak dapat bersaing dari segi harga.
Baca Juga:Jokowi Mengungkapkan Biang Kerok dari Kenaikan Harga Beras Yakni Gagalnya Produksi PanenJokowi Dibuat Pusing, Jika Harga Beras Turun Dimarahi Petani, Jika Harga Beras Naik Dimarahi Ibu-Ibu
Program hilirisasi batu bara yang digencarkan Jokowi hingga saat ini belum dapat terealisasi. Terlebih, ketika perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc., mundur dari dua proyek gasifikasi batu bara di Indonesia. Program ini sebenarnya menjadi proyek yang diharapkan dapat menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) nasional serta menghemat devisa negara. Namun, keterbatasan teknologi untuk merealisasikan proyek hilirisasi menjadi tantangan besar bagi Indonesia.