JAKARTA, RAKCER.ID – Baru-baru ini, dunia hiburan Indonesia dikejutkan dengan kabar kurang baik dari Ruben Onsu, seorang pembawa acara terkenal, yang dikabarkan menderita penyakit langka yang disebut Empty Sella Syndrome (ESS). Masalah kesehatan ini menjadi sorotan pasca Ruben Onsu dilarikan ke rumah sakit, dimana kondisi fisiknya yang tampak lemah dan pucat menjadi buah bibir di masyarakat.
Tahun lalu, melalui sebuah video yang diunggah di kanal YouTube Trans 7 Official, Ruben Onsu menjelaskan bahwa berdasarkan pemeriksaan MRI, dia didiagnosis dengan ESS. Menurutnya, terdapat bercak putih di otaknya, serta kondisi yang disebut empty sella syndrome. Fenomena ini menambah daftar panjang kesibukan dan tantangan yang harus dihadapi oleh Ruben Onsu, termasuk ketika kondisinya kembali menurun pasca bekerja di Majalengka, Jawa Barat.
Jadi, apa sebenarnya Empty Sella Syndrome itu? Kelainan langka ini berkaitan erat dengan kondisi fisik di area otak. Sellaturcica merupakan struktur tulang yang terletak pada dasar otak, berfungsi sebagai pelindung untuk kelenjar pituitari. Kelenjar ini sangat penting karena mengatur berbagai hormon dalam tubuh. ESS terjadi ketika sella turcica menjadi ‘kosong’ atau tidak terisi seperti biasanya. Penyakit ini seringkali terdiagnosis saat pemeriksaan pencitraan dilakukan untuk mengevaluasi masalah terkait kelenjar pituitari.
Baca Juga:Cara Melatih Ayam Jantan Kawin Duduk Dan KeunggulannyaCara Membuat Mode Siluman Di Whatsapp Bisa Banget Begini Caranya!
Dalam banyak kasus, pencitraan ini baru dilakukan ketika gejala klinis yang mengarah pada gangguan kelenjar pituitari muncul, sehingga kondisi ini belum tentu langsung terdeteksi. Seperti yang menjadi pengalaman Ruben Onsu, ESS bisa diidentifikasi saat seseorang menjalani pemeriksaan MRI untuk masalah yang berkaitan dengan otak atau kelenjar pituitari.
ESS ini sebenarnya bisa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu primer dan sekunder. Kasus primer tidak diketahui penyebab pastinya dan sering kali tidak menyebabkan gejala klinis nyata, sedangkan kasus sekunder dapat berkaitan dengan operasi atau radiasi yang sebelumnya dilakukan pada area pituitari. Meskipun demikian, beberapa orang dengan ESS bisa mengalami gejala seperti sakit kepala atau masalah hormon.
Pengobatan untuk ESS biasanya dilakukan untuk mengatasi gejala khusus yang dialami pasien. Hal ini dapat termasuk penggantian hormon jika terdapat gangguan pada fungsi kelenjar pituitari. Bagi mereka yang tidak menunjukkan gejala, pengobatan mungkin tidak diperlukan, namun monitoring secara berkala menjadi penting untuk memastikan kondisi tetap stabil.