JAKARTA, RAKCER.ID – Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan tradisi.
Negara Pancasila berakar dari budaya adiluhur bangsa, yang mencakup gotong-royong, kekeluargaan, dan toleransi.
Nilai-nilai ini menjadi fondasi yang kuat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga:Manfaat, Penggunaan, dan Efek Samping Teh Daun Jati Cina yang Banyak Orang Belum MengetahuinyaPenggunaan Etika Media Sosial yang Benar Agar Tidak Viral dan Menjelekkan Nama Baik
Namun, kita harus waspada agar tidak menyalahgunakan nilai-nilai ini untuk tujuan yang tidak mulia.
Gotong-royong tidak boleh digunakan untuk melakukan penyelewengan, nepotisme tidak boleh dilakukan atas nama kekeluargaan, dan pelanggaran tidak boleh ditoleransi.
Kita harus membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang sudah biasa.
Politik paternalistik adalah model kepemimpinan yang mengakar kuat dalam masyarakat kita.
Dalam model akar politik paternalistik ini, pemimpin dianggap sebagai figur yang harus dihormati dan memiliki kewenangan yang luas.
Terdapat perbedaan kelas yang jelas antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya.
Pemimpin sering kali diperlakukan bak raja, yang semua ucapannya harus diikuti tanpa ada ruang untuk perdebatan atau kritik.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya “How Democracies Die” mengingatkan kita bahwa demokrasi bisa mati bukan hanya oleh kekuatan massa atau kekerasan yang menggulingkan suatu pemerintahan dengan menggunakan tirani otoriter.
Baca Juga:Akhirnya Pemilik Daycare Depok Jawa Barat Ditangkap Usai Menganiaya Batita di Daycarenya SendiriKekaisaran Romawi Barat yang Menjadi Pusaran Perubahan di Dunia Kuno
Demokrasi bisa mati ketika institusi kelembagaan dan negara yang menegakkan hukum dan aturan dikuasai oleh satu tangan.
Demokrasi bisa mati oleh para demokrat itu sendiri ketika mereka tidak lagi setia pada prinsip-prinsip demokrasi dan tidak mampu mengolah demokrasi dengan kewarasan.
Cara Menghilangkan Politik Paternalistik
Salah satu cara untuk mencabik politik paternalistik adalah dengan menerapkan meritokrasi.
Meritokrasi adalah sistem di mana individu diberi kesempatan dan posisi berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan berdasarkan hubungan kekeluargaan atau kedekatan dengan kekuasaan.
Presiden Jokowi pernah menggagas kabinet yang berbasis pada meritokrasi, dengan memilih menteri-menteri yang ahli di bidangnya.
Namun, pada prakteknya, hingga periode kedua, kita melihat banyak posisi penting yang diisi oleh orang-orang yang itu-itu saja, bahkan ada menteri yang memegang banyak jabatan sekaligus.
Menurut Immanuel Kant, etika adalah kewajiban untuk menjalankan yang baik dan menghindarkan yang buruk.