CIREBON, RAKCER.ID – Perubahan iklim yang cepat membuat banyak destinasi wisata menjadi lebih rentan, sehingga tempat-tempat ini kini justru diminati oleh wisatawan yang ingin melihat keindahan alam yang terancam sebelum semuanya hilang.
Istilah “pariwisata kesempatan terakhir” merujuk pada tren wisatawan yang berbondong-bondong mengunjungi lokasi-lokasi ikonik yang berada dalam bahaya, seperti gletser, terumbu karang, dan bangunan bersejarah, sebelum kondisi alam menghapusnya dari peta wisata dunia.
Meski begitu, tren pariwisata ini memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, beberapa wisatawan merasa bahwa ini adalah peluang unik untuk menyaksikan langsung keindahan tempat-tempat yang terancam.
Baca Juga:Hutan Kota Srengseng, Oase Hijau di Tengah Padatnya Jakarta BaratDestinasi Wisata Yogyakarta Cuma Rp 20 Ribuan, Nawang Jagad View Alam untuk Camping
Di sisi lain, para penentang menilai bahwa dengan banyaknya kunjungan, wisatawan justru memperburuk kerusakan pada ekosistem dan lingkungan sekitar, yang akhirnya mempercepat hilangnya destinasi tersebut.
Dampak Pariwisata Terhadap Lingkungan
Menurut laporan World Travel and Tourism Council (WTTC) tahun 2021, sektor pariwisata berkontribusi sekitar 8–11 persen dari emisi gas rumah kaca global.
Emisi ini, dihasilkan dari perjalanan udara, aktivitas wisata di lokasi, dan fasilitas pariwisata, yang berperan dalam mempercepat laju perubahan iklim. Hal ini memengaruhi kelangsungan banyak situs alam yang rentan terhadap kenaikan suhu dan perubahan cuaca ekstrem.
Destinasi seperti gletser di Pegunungan Alpen, terumbu karang di Australia, jalan-jalan bersejarah di Venesia, situs Machu Picchu di Peru, hingga hutan hujan Amazon merupakan beberapa lokasi yang semakin populer di kalangan pelancong dengan minat terhadap “pariwisata kesempatan terakhir.”
Misalnya, Great Barrier Reef di Australia mengalami pemutihan terumbu karang akibat kenaikan suhu laut.
Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memproyeksikan bahwa lebih dari 90 persen terumbu karang dunia akan mengalami pemutihan pada tahun 2050.
Ironisnya, panorama keindahan alam ini justru menjadi daya tarik wisatawan yang ingin melihat karang sebelum rusak sepenuhnya.
Baca Juga:Air Lemon atau Air Putih? Mengapa Air Lemon Bisa Jadi Pilihan Terbaik untuk Memulai HariWaspada, Jarang Orang Tahu! Infeksi Berulang hingga Jerawat Membandel? Bisa Jadi Anda Kekurangan Vitamin A
Tekanan dari banyaknya wisatawan malah memperparah kondisi ekosistem karang, mempercepat proses pemutihan yang mematikan bagi biota laut.
Paradoks dalam Pariwisata Ekologis
Fenomena ini menciptakan paradoks tersendiri. Wisatawan yang sebenarnya peduli terhadap pelestarian lingkungan tetap mengunjungi tempat-tempat rentan, sehingga aktivitas kunjungan mereka pada akhirnya tetap berdampak negatif pada ekosistem tersebut.