Raja Tanpa Mahkota, Cerita Si Penarik Upeti Lebih Kaya dari Sang Raja

Raja Tanpa Mahkota, Cerita Si Penarik Upeti Lebih Kaya dari Sang Raja
Ilustrasi korupsi. Foto: Pinterest/rakcer.id
0 Komentar

CIREBON, RAKCER.ID – Kasus korupsi senilai 300 triliun yang hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun melibatkan Harvey Moeis yang mencuat ke publik baru-baru ini menjadi perhatian luas masyarakat.

Angka yang fantastis ini tidak hanya mencerminkan kerugian negara, tetapi juga menunjukkan akar masalah yang begitu dalam pada tata kelola dan integritas sistem birokrasi.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, korupsi bukanlah fenomena baru. Praktik manipulasi kekuasaan demi keuntungan pribadi ini telah menjadi bayang-bayang kelam yang menyertai perjalanan sejarah berbagai bangsa, termasuk Indonesia.

Baca Juga:7 Inspirasi Model Dapur Modern dengan Kompor Tanam yang Fungsional dan EleganNuansa Rumah Amerika di Dapur, 7 Inspirasi Desain Kayu yang Unik dan Menawan

Dari zaman kerajaan Nusantara hingga era modern, korupsi terus berevolusi sesuai dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Bagaimana praktik ini bermula? Apa yang membuat korupsi terus hidup di tengah perubahan zaman?

Dalam artikel ini, kita akan mengupas sejarah korupsi dari sudut pandang sejarah, menggali akar-akarnya, serta memahami bagaimana warisan masa lalu masih membayangi realitas kita hari ini.

Sejarah Korupsi Di Indonesia

Korupsi di Indonesia bukanlah fenomena baru. Praktik ini memiliki akar yang begitu dalam, bahkan tercatat sejak masa kerajaan Nusantara hingga zaman kolonial.

Dalam sejarahnya, korupsi telah menjadi benalu yang menggerogoti tatanan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat.

Dari pungutan liar (pungli) oleh pejabat kerajaan hingga manipulasi sistem ekonomi oleh kongsi dagang Belanda, VOC, korupsi menjadi cerminan dari eksploitasi kekuasaan demi keuntungan pribadi.

Sastrawan Goenawan Mohamad pernah mengatakan bahwa korupsi menghasilkan sesuatu yang berlebihan, baik itu uang, kekuasaan, atau kekejaman, yang pada akhirnya merugikan banyak pihak. Sebuah pengingat bahwa korupsi di Indonesia bukanlah persoalan individu semata, melainkan persoalan sistemik yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan.

Sejarawan Ong Hok Ham mengungkapkan bahwa praktik pungli telah menjadi bagian dari sistem pembiayaan tradisional kerajaan Nusantara. Para pejabat tidak digaji oleh raja, tetapi diberi tanah dan hak untuk memungut pajak.

Baca Juga:9 Pilihan Tren Warna Rumah Minimalis Tahun 2025, Begini Penjelasan Menurut Feng Shui7 Inspirasi Bufet TV Minimalis Modern, Elegansi dan Fungsionalitas dalam Satu Paket

Dari sini, mereka mencari nafkah dengan memungut upeti dari rakyat, sebuah sistem yang mengakar kuat hingga melahirkan eksploitasi struktural. Bahkan raja sendiri menerima bagian dari pungutan ini, meski tidak sebesar yang dikantongi pejabat-pejabatnya.

0 Komentar