Kini, dengan nama baru Bale Jaya Dewata, para budayawan berharap ada ruang dialog dan keterlibatan masyarakat dalam setiap kebijakan yang menyangkut sejarah dan budaya lokal.
“Langkah kami adalah mengajak duduk bareng teman-teman hari Minggu nanti. Kita akan satukan visi: kalau menerima, dasarnya apa, kalau menolak, dasarnya apa. Tapi yang kami pertanyakan, ini konsep penamaannya dari siapa?” tegas Jajat.
Senada dengan Jajat, tokoh budaya lainnya, Chaidir Susilaningrat, juga menyampaikan keprihatinannya. Ia menilai proses perubahan nama ini tidak melibatkan stakeholder kebudayaan dan dilakukan tanpa sosialisasi yang layak.
Baca Juga:Peringati Hari Otonomi Daerah ke-29, Pemkot Cirebon Tegaskan Komitmen Perkuat Demokrasi dan Pelayanan PublikKapolri Listyo Sigit Prabowo Resmikan Pondok Pesantren Al Inaaroh Al Hikam di Buntet
“Penamaan gedung bersejarah semestinya dimusyawarahkan dengan semua pihak terkait, karena ini menyangkut pelestarian warisan budaya,” ujar Chaidir.
Ia pun menambahkan bahwa gedung yang dibangun pada tahun 1808 itu memiliki nilai sejarah tinggi. Dahulu, bangunan tersebut merupakan markas pasukan kolonial Belanda, yang kemudian beberapa kali berubah fungsi, termasuk pernah dijadikan Creative Center oleh Gubernur Ridwan Kamil.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi telah mencanangkan kebijakan strategis dengan mendirikan lima kantor gubernur di berbagai wilayah sebagai bentuk penghormatan terhadap kekayaan budaya Jawa Barat.
Masing-masing kantor diberi nama yang mencerminkan identitas budaya lokal: Bale Pakuan Padjadjaran di Bogor, Bale Sri Baduga di Purwakarta, Bale Dewa Niskala di Priangan Garut, Bale Pakuan di Bandung Raya, dan Bale Jaya Dewata di Cirebon.
Tujuan kebijakan ini adalah mengaktifkan kembali eks kantor karesidenan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan simbol budaya daerah. Namun di Cirebon, perubahan nama tersebut justru memicu diskusi kritis, menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat dalam setiap upaya pelestarian warisan budaya.