Profesor Harry Truman: Kalau Sejarah Tanpa Luka, Itu Bukan Ilmu!

Profesor Harry Truman: Kalau Sejarah Tanpa Luka, Itu Bukan Ilmu!
Profesor Harry Trauman Arkeolog Senior Indonesia. Foto: Pinterest/rakcer.id
0 Komentar

CIREBON, RAKCER.ID – Bayangkan sebuah buku sejarah tebal. Isinya rapi, penuh kejayaan, pahlawan-pahlawan besar, dan kemenangan demi kemenangan. Tapi tak ada satu bab pun yang bicara tentang luka, air mata, atau tragedi seperti Mei 1998.

Di tengah gegap gempita rencana besar menulis ulang sejarah Indonesia menjelang 80 tahun kemerdekaan, suara kritis justru datang dari dalam.

Seorang arkeolog senior, Profesor Harry Truman Simanjuntak, memilih mundur dari tim penulis. Bukan karena lelah, tapi karena gelisah ia tak ingin sejarah berubah menjadi dongeng yang hanya menyenangkan mereka yang berkuasa.

Baca Juga:Penulisan Ulang Sejarah Nasional Mau Dikebut Seperti Candi Semalam? Ini Alasan Kenapa Profesor Truman Mundur!Bukan Gaya Hidup, Ini Alasan Gen Z dan Milenial Rela Pangkas Hal Penting Ini!

Proyek penulisan ulang sejarah nasional yang diklaim sebagai warisan besar menjelang 80 tahun kemerdekaan Indonesia, kembali menuai kritik tajam.

Kritik terbaru datang dari Profesor Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior yang memilih mundur dari tim penulis karena merasa ada upaya membangun narasi sejarah yang terlalu glorifikatif dan tidak berpijak pada realitas sejarah bangsa.

Menurut Profesor Harry Truman Arkeolog Senior Indonesia menjelaskan bawa narasi sejarah semestinya tidak melulu menonjolkan kejayaan dan semangat nasionalisme yang semu.

Ia menilai, sejarah yang terlalu dibungkus glorifikasi berisiko menutup mata dari luka-luka kelam yang pernah terjadi dalam perjalanan Indonesia.

“Kalau sejarah hanya bicara yang hebat-hebat saja, itu bukan ilmu, tapi dongeng,” ujarnya dalam sebuah pernyataan.

Salah satu hal yang disoroti Truman adalah absennya pembahasan tentang tragedi Mei 1998 dalam rancangan narasi sejarah yang baru.

Peristiwa yang menimpa ratusan perempuan terutama dari etnis Tionghoa itu dianggap sebagai salah satu episode kelam dalam sejarah bangsa yang tidak bisa dikesampingkan hanya karena alasan politik atau kenyamanan narasi.

Baca Juga:Biar Dilirik HRD! Begini Cara Bikin CV Kreatif di Canva Tanpa Ribet DesainCuma Butuh 8 Langkah, Artikel Kamu Bisa Tembus Halaman Pertama Google!

“Bicara sejarah artinya juga bicara luka. Jika kita tidak mau mengakui sisi gelap masa lalu, maka bangsa ini tidak pernah benar-benar tumbuh dewasa,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa menulis ulang sejarah seharusnya menjadi momen reflektif, bukan proyek pencitraan.

Sejarah, lanjutnya adalah milik ilmu pengetahuan dan rakyat bukan milik penguasa atau kepentingan politik sesaat.

Jika fakta-fakta sejarah dipoles untuk menyenangkan pihak tertentu, maka narasi yang dibangun hanya akan menjadi ilusi, bukan cermin jujur dari masa lalu.

0 Komentar