Ia menyebut aktivitas kelompok ini kian meningkat sejak awal 2024, dengan metode yang semakin agresif dan cenderung menggunakan kekerasan.
“Kegiatan mereka kini meluas ke lembaga keuangan, universitas, badan amal, bahkan kantor pemerintahan. Berdasarkan evaluasi menyeluruh oleh aparat keamanan, kelompok ini memenuhi kriteria untuk dikategorikan sebagai organisasi teroris,” jelas Cooper.
Seorang pemuda Yahudi bernama Isaac Grand mengaku dipaksa meninggalkan lokasi setelah mengibarkan bendera Israel. Ia menyebut bahwa aparat menerapkan standar ganda dalam mengatasi dua kubu demonstran. “Kami hanya menyuarakan pendapat kami, tapi diperlakukan seolah-olah pelaku kekerasan. Ini sangat tidak adil,” ujar Isaac.
Baca Juga:Di Tengah Krisis Global, Presiden Prabowo Gelar Rapat Tertutup Bahas Ancaman Geopolitik DuniaDunia Islam Cemas, Saudi Buka Suara Soal Serangan Nuklir AS ke Iran
Sementara itu, Palestine Action menyebut langkah pemerintah sebagai “reaksi tidak masuk akal terhadap aksi damai menyemprot cat merah sebagai simbol penolakan terhadap keterlibatan Inggris dalam agresi militer Israel”.
Dalam pernyataan resminya, kelompok ini menilai bahwa kriminalisasi terhadap mereka mencerminkan tekanan dari perusahaan senjata dan kelompok pro-Israel yang ingin menghentikan aktivitas mereka karena telah mengganggu “mesin perang Israel”.
“Kami adalah guru, perawat, mahasiswa, dan orang tua yang menolak kejahatan perang. Menyamakan kami dengan ISIS atau Boko Haram sungguh keterlaluan,” tegas juru bicara kelompok.
Demonstrasi yang berakhir tiga jam setelah dimulai ini menyisakan perdebatan publik tentang batas antara kebebasan berekspresi dan aksi yang dianggap membahayakan keamanan nasional.
Di tengah gelombang solidaritas internasional terhadap Palestina dan meningkatnya kecaman atas tindakan represif di Gaza, langkah pemerintah Inggris menimbulkan pertanyaan baru apakah suara protes kini mulai dianggap ancaman?