Memahami Fenomena "Doomscrolling": Mengapa Kita Tidak Bisa Berhenti Membaca Berita Buruk?

Memahami Fenomena \"Doomscrolling\": Mengapa Kita Tidak Bisa Berhenti Membaca Berita Buruk?
Memahami Fenomena \"Doomscrolling\". Foto: Tangkapan layar/Rakcer.id
0 Komentar

CIREBON, RAKCER.ID – Pernahkah kamu membuka Instagram atau Twitter, berniat hanya melihat sebentar, namun dua jam kemudian kamu masih stuck di sana, terus menggulir layar, membaca dan menonton berita yang isinya hanya kecemasan ,kekhawatiran, dan hal-hal negatif lainnya? Jika iya, kamu mungkin telah menjadi korban dari fenomena doomscrolling.

Artikel ini akan membantu kita memahami fenomena doomscrolling, termasuk dampak buruk yang dihasilkan, serta cara mengatasinya.

Apa itu Doomscrolling?

Istilah doomscrolling atau doomsurfing secara bahasa merupakan gabungan dari kata doom (malapetaka) dan scrolling (menggulir layar). Istilah ini menjadi populer selama pandemi COVID 19, saat semua orang di seluruh dunia terjebak di rumah dan bergantung pada internet untuk mendapatkan informasi.

Baca Juga:Strategi Jitu Monetisasi Konten dengan Pay-Per-View Untuk Content CreatorRekomendasi Platform Pay-Per-View Terbaik untuk Streaming Acara Olahraga

Doomscrolling sendiri merujuk pada tindakan menggulir atau membaca secara terus menerus berita buruk, negatif, dan informasi lain yang membuat kita cemas di media sosial atau internet tanpa bisa berhenti.

Bukan hanya sekadar membaca berita, doomscrolling adalah perilaku yang kompulsif, dimana ada dorongan kuat untuk terus mencari tahu, bahkan ketika informasi tersebut sudah jelas membuat kita merasa cemas, takut dan sedih.

​ Penyebab Doomscrolling

Meskipun doomscrolling membuat kita merasa lebih buruk, ada beberapa alasan psikologis yang mendasarinya, di antaranya adalah:

  • ​Insting Bertahan Hidup (Surfival Instinct)

Secara evolusioner, otak kita diprogram untuk selalu waspada terhadap ancaman. Dimana pada saat otak terus menerima informasi negatif, kita merasa sedang bersiap-siap untuk menghadapi potensi bahaya.

Otak akan berpikir semakin banyak informasi yang diketahui, maka akan semakin siap untuk menghadapi bahaya. Sayangnya, di era digital, informasi yang tidak terbatas justru membuat kita kewalahan dan tidak akan merasa aman.

  • Bias Negativitas (Negativity Bias)

Otak manusia memiliki kecenderungan untuk lebih mengingat, memperhatikan dan memproses informasi negatif daripada informasi positif. Berita buruk, misalnya, lebih mudah menarik perhatian dan mudah diingat.

Di media sosial, algoritma juga menangkap biasa ini, sehingga berita-berita sensasional dan memicu emosi lebih sering disajikan di feed kita.

  • Dorongan untuk Mengontrol (Desire to Control)
0 Komentar