CIREBON, RAKCER.ID – Media sosial, platform berita, dan berbagai aplikasi hiburan yang menawarkan informasi dan interaksi tanpa batas yang menjadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupan remaja. Di balik kemudahan tersebut, terselip sebuah kebiasaan yang perlahan tapi pasti menggerogoti kesehatan mental remaja melalui “Doomscrolling”
Istilah “Doomscrolling” mengacu pada kecenderungan untuk terus-menerus menelusuri berita, postingan, atau konten negatif dan meresahkan secara obsesif. Artikel ini akan membahas tentang cara mengatasi bahaya “Doomscrolling” pada remaja agar tidak semakin terjerumus oleh lingkaran tak berujung.
Mengapa Remaja Rentan Terhadap Doomscrolling?
Ada beberapa faktor yang membuat remaja sangat rentan terhadap jebakan doomscrolling:
Baca Juga:Memahami Fenomena "Doomscrolling": Mengapa Kita Tidak Bisa Berhenti Membaca Berita Buruk?Disebut Sebagai Saingan, Inilah 5 Perbedaan antara Threads dan X (Twitter)
- Pencarian Identitas dan Validasi Sosial
Remaja seringkali merasa tertekan untuk terus mengikuti perkembangan agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Mengetahui semua berita terkini, bahkan yang negatif, bisa memberi mereka rasa validasi sosial.
- Rasa Ingin Tahu yang Kuat
Sifat alami remaja adalah penasaran. Mereka ingin tahu apa yang terjadi dan mengapa sesuatu itu terjadi. Namun, rasa penasaran ini bisa berubah menjadi obsesi untuk terus mencari informasi yang lebih dalam, mespikun informasi itu menyakitkan.
Kondisi Pikiran yang Rentan
Masa remaja adalah masa penuh gejolak emosi. Tekanan dari sekolah, teman sebaya, dan keluarga bisa membuat mereka merasa rentan.
Doomscrolling seringkali menjadi pelarian yang salah, di mana mereka mencoba mengendalikan perasaan cemas dengan terus mencari informasi, padahal justru memperburuknya.
Dampak Buruk Doomscrolling pada Kesehatan Mental Remaja
Bukan sekadar kebiasaan buruk, Doomscrolling bisa berdampak serius pada kesehatan mental dan fisik remaja dalam jangka panjang.
- Meningkatnya Kecemasan dan Depresi
Terus menerus terpapar berita negatif secara berlebihan dapat memicu respons “fight-or-flight” dalam otak. Hal ini membuat tubuh terus-menerus berada dalam keadaan waspada dan meningkatkan kadar hormon stres seperti kortisol.
Akibatnya, remaja bisa mengalami gejala kecemasan berlebih, serangan panik, dan bahkan depresi. Mereka mungkin akan mulai merasa putus asa, pesimis terhadap masa depan, dan juga sulit menemukan kebahagiaan.