CIREBON, RAKCER.ID – Saat ini, media sosial telah menjadi salah satu kekuatan paling dominan dalam membentuk opini publik. Berbeda dengan media tradisional seperti koran atau televisi, media sosial menawarkan platform yang memungkinkan setiap individu untuk tidak hanya mengonsumsi, tetapi juga memproduksi dan menyebarkan informasi.
Perubahan peran media sosial dalam membentuk opini publik ini membawa dampak yang signifikan, mulai dari demokratisasi informasi hingga munculnya tantangan serius seperti misinformasi dan polarisasi.
1. Demokratisasi Informasi dan Partisipasi Aktif
Media sosial meruntuhkan hambatan yang dulu ada di media massa. Kini, setiap orang memiliki potensi untuk menjadi “jurnalis” atau “pembawa berita” mereka sendiri.
Baca Juga:Dunia Maya vs Dunia Nyata: Memahami Dampak Identitas Digital yang Berbeda dari Kehidupan AsliPanduan Lengkap Membangun Personal Branding di Media Sosial
Hal ini memungkinkan suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan untuk didengar oleh audiens yang lebih luas. Melalui tagar dan kampanye online, isu-isu sosial dan politik bisa menjadi viral dalam hitungan jam, memicu diskusi publik, dan bahkan memobilisasi gerakan sosial.
Aktivisme digital, misalnya, telah membuktikan kekuatan media sosial dalam mengorganisasi protes dan kampanye. Contohnya, tagar #FreePalestine atau #BlackLivesMatter telah berhasil membawa isu-isu krusial ke panggung global dan menekan para pembuat kebijakan untuk bertindak.
Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa menjadi alat yang ampuh untuk mendorong partisipasi publik dan perubahan sosial.
2. Peran Algoritma dan Echo Chamber
Salah satu mekanisme terpenting yang membentuk opini di media sosial adalah algoritma. Algoritma dirancang untuk mempersonalisasi konten, menampilkan apa yang paling mungkin disukai pengguna atau berinteraksi dengannya, berdasarkan riwayar perilaku pengguna.
Tujuannya adalah untuk membuat pengguna tetap berada di platform selama mungkin. Namun, efek samping dari personalisasi ini adalah terciptanya “gelembung gema” (echo chamber) atau “gelembung filter” (filter bubble).
Dalam gelembung gema, pengguna hanya terpapar pada konten yang menguatkan pandangan dan keyakinan mereka sendiri. Mereka jarang, atau bahkan tidak pernah, melihat argumen atau perspektif yang berbeda.
Akibatnya, pandangan mereka menjadi semakin ekstrem, dan prasangka terhadap pihak lain menguat. Fenomena ini menjadi salah satu faktor utama di balik meningkatnya polarisasi politik dan sosial di banyak negara.