Tidak sedikit yang menganggap pria performatif hanyalah “poser” atau “gaya tanpa substansi”.
Mereka tampak cerdas dan peka, tapi hanya di permukaan. Media sosial memperkuat hal ini, karena setiap postingan bisa menjadi ajang pertunjukan, bukan refleksi jujur dari diri seseorang.
Di sisi lain, fenomena ini juga bisa dibaca sebagai upaya Gen Z untuk mendefinisikan ulang maskulinitas.
Baca Juga:Batasan Mengunggah Konten Anak di Media Sosial, Lindungi Privasi dan Hak MerekaMengapa Parenting Modern Terasa Lebih Berat? Ini Alasan yang Perlu Dipahami
Mereka menolak konsep lama yang kaku dan toksik, lalu mencoba menawarkan citra baru terkait maskulinitas yang emosional, inklusif, dan lebih estetis.
Namun, dilema muncul ketika citra baru ini justru menciptakan tekanan sosial lain mereka dituntut untuk tampil keren, artsy, dan “paham isu” agar diakui.
Fenomena Male’s Performative di kalangan Gen Z memperlihatkan bagaimana generasi ini menavigasi identitas di era digital.
Di satu sisi, mereka menolak maskulinitas tradisional yang dianggap ketinggalan zaman.
Di sisi lain, ada kritik bahwa apa yang mereka tampilkan hanyalah kepura-puraan demi popularitas.
Apakah ini sekadar tren estetis, atau langkah awal menuju redefinisi maskulinitas yang lebih sehat? Jawabannya masih terbuka. Namun, yang jelas, fenomena ini mencerminkan betapa eratnya hubungan antara gaya hidup, media sosial, dan kebutuhan validasi di era sekarang.