Emosi Sebagai Konsumsi
Banyak netizen menggunakan media sosial untuk melepaskan emosi. Kemarahan yang diluapkan di kolom komentar terasa memuaskan, tetapi begitu emosi tersebut tersalurkan, kita cenderung tidak lagi peduli dengan isu awalnya.
Algoritma adiktif
Algoritma dirancang untuk membuat kita terus bergulir di layar. Algoritma akan terus menyuguhkan konten yang menarik perhatian dan memicu emosi, membuat kita melupakan isu sebelumnya dan beralih ke yang baru.
“Kelelahan Empati”
Terlalu sering melihat isu-isu yang menyedihkan atau memancing amarah bisa menyebabkan kita merasa lelah secara emosional. Akhirnya, kita mematikan rasa peduli sebagai mekanisme pertahanan.
Baca Juga:AI dan Media Sosial: Pengertian, Dampak, dan Masa DepanEvolusi Persahabatan di Era Digital: Dari Tatap Muka ke Jaringan Daring
Dampak Buruk dari Siklus Panik
Siklus “marah-lupa” ini tidak hanya membuat isu-isu penting tidak terselesaikan, tetapi juga memiliki dampak negatif lainnya:
Isu Tidak Tuntas
Masalah yang seharusnya diselesaikan dengan diskusi dan tindakan nyata justru menguap begitu saja. Pihak yang bersalah bisa lolos dari pertanggungjawaban karena kemarakan publik tidak bertahan lama.
Mengikis Kredibilitas
Ketika publik terlalu sering marah-marah untuk hal yang kemudian mereka lupakan, tuntutan dan seruan mereka menjadi kurang dipercaya.
Kelelahan Mental
Terus -menerus merasakan kemarahan, kebencian, dan frustasi bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Kita terjebak dalam siklus emosional yang melelahkan dan tidak produktif.
Untuk keluar dari siklus ini, kita perlu menjadi pengguna internet yang lebih bijak. Mari kurangi respons instan yang didasari emosi dan biasakan diri untuk berpikir, bukan hanya bereaksi. Tanyakan kepada diri sendiri, “apakah kemarahan ini akan bertahan hingga besok?” Jika jawabannya tidak, mungkin lebih baik menyalurkan energi kita untuk hal yang lebih produktif dan berkelanjutan.(*)