CIREBON, RAKCER.ID – Di era digital, media sosial lebih dari sekadar tempat untuk berbagi foto liburan atau berinteraksi dengan teman lama. Perlahan tapi pasti, platform-platform ini telah menjelma menjadi arena utama kapitalisme modern.
Bukti nyata bahwa media sosial sebagai cermin kapitalisme adalah di platform, setiap klik, unggahan, dan interaksi memiliki nilai ekonomi. Segalanya dapat dijual, termasuk hal yang paling penting yaitu diri sendiri.
Kapitalisme Digital dan Ekonomi Perhatian
Inti dari kapitalisme media sosial adalah ekonomi perhatian. Platform seperti Instagra, Facebook, dan TikTok tidak menjual produk secara langsung kepada kita.
Baca Juga:AI dan Media Sosial: Pengertian, Dampak, dan Masa DepanEvolusi Persahabatan di Era Digital: Dari Tatap Muka ke Jaringan Daring
Sebaliknya, mereka menjual perhatian kita kepada para pengiklan. Semakin lama kita menatap layar, semakin banyak data yang mereka kumpulkan tentang preferensi, kebiasaan, dan bahkan emosi kita. Data inilah yang menjadi komoditas paling berharga.
Algoritma dirancang untuk membuat kita terus terikat. Notifikasi, fitur autoplay, dan feed yang tidak pernah berakhir adalah taktik untuk memastikan kita teap online.
Semakin kita terpaku pada layar, semakin besar pula peluang kita untuk terpapar iklan yang dipersonalisasikan.
Dengan demikian, kita bukanlah pelanggan, melainkan produk yang dijual kepada pihak ketiga.
Merek Diri dan Komodifikasi Kehidupan
Di dunia media sosial, setiap individu didorong untuk menjadi merek (brand) bagi dirinya sendiri. Kita mengkurasi kehidupan kita, memilih foto terbaik, menulis deskripsi yang menarik, dan membangun narasi personal yang menarik.
Setiap unggahan adalah “konten” yang dirancang untuk mendapatkan “engagements” berupa likes, komentar, dan share.
Proses ini dikenal sebagai komodifikasi diri. Di mana, kehidupan pribadi, hobi, bahkan masalah pribadi pun bisa diubah menjadi produk yang bisa dikonsumsi oleh audiens.
Baca Juga:Durasi Penggunaan Media Sosial: Apakah Kita Sudah Kecanduan?Inilah Platform Media Sosial yang Paling Cepat Berkembang. Mengapa?
Seorang influencer tidak hanya menjual produk kecantikan, namun, ia juga menjual narasi hidupnya yang “sempurna”, gaya hidupnya yang mewah, atau perjuangannya yang mengispirasi. Sering kali, jati dirinya yang asli dikorbankan demi versi diri yang lebih menarik dan laku di pasaran.
Perjuangan Tanpa Henti untuk Validasi
Sisi lain dari kapitalisme media sosial adalah perjuangan tanpa henti untuk validasi. Jumlah “suka” dan pengikut menjadi mata uang sosial yang menentukan nilai kita.