Semakin banyak pengikut, semakin besar pengaruh kita, maka, semakin besar juga potensi kita untuk mendapatkan sponsor atau kontrak.
Namun, validasi ini datang dengan harga yang mahal. Banyak pengguna merasa tertekan untuk terus-menerus menampilkan citra diri yang sempurna, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan berjuang melawan kecemasan jika unggahan mereka tidak mendapatkan respons yang diharapkan.
Kesehatan mental sering kali menjadi korban dari perlombaan yang tidak ada habisnya ini.
Baca Juga:AI dan Media Sosial: Pengertian, Dampak, dan Masa DepanEvolusi Persahabatan di Era Digital: Dari Tatap Muka ke Jaringan Daring
Mengapa Kita Perlu sadar?
Menyadari media sosial sebagai cermin kapitalisme bukan berarti kita harus meninggalkannya. Namun, kesadaran ini penting agar kita bisa menggunakannya dengan lebih bijak.
- Kendali Atas Diri Sendiri: Pahami bahwa setiap interaksi adalah data. Kita bisa lebih selektif dalam apa yang kita konsumsi dan bagikan.
- Batasan yang Sehat: Tetapkan batasan antara kehidupan online dan offline. Jangan biarkan feed orang lain mendikte kebahagiaan atau harga diri kita.
- Kritik Terhadap Konsumsi: Jadilah konsumen konten yang cerdas. Yanyakan pada diri sendiri, “Apakah saya benar-benar membutuhkan ini, atau saya hanya terpenngaruh oleh strategi pemasaran?”
Pada akhirnya, media sosial hanyalah sebuah alat. Namun, bagaimana kita menggunakannya akan menentukan apakah kita menjadi pengguna yang sadar atau produk yang diperdagangkan.