Echo Chamber dan Polarisasi
Algoritma media sosial sering kali menempatkan kita di dalam echo Chamber, di mana kita hanya melihat pendapat yang selaras dengan kita.
Ini bisa membuat kita merasa benar sendiri dan melihat pihak lain sebagai musuh, sehingga kritik pun mudah berubah menjadi serangan pribadi.
Cancel Culture
Dalam beberapa kasus, kritik terhadap satu individu atau entitas bisa memicu gelombang komentar negatif yang masif dan tidak proporsional, sering kali tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas.
Baca Juga:Content Creator Wajib Tahu! Inilah Cara Mendapatkan 10.000 Follower Instagram Secara OrganikStatistik Penggunaan Media Sosial Indonesia Tahun 2025: Siapa yang Paling Aktif?
Praktik Terbaik untuk Berkomentar secara Etis
Sebagai pengguna media sosial, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga ruang digital agar tetap positif.
Berikut adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan:
- Berpikir Sebelum Mengetik: Tanyakan pada diri sendiri, “apakah komentar ini akan membantu atau menyakiti?” “Apakah saya akan mengatakan ini secara langsung kepada orang tersebut?”
- Fokus pada Isu, Bukan Individu: Jika Anda tidak setuju, jelaskan mengapa Anda tidak setuju dengan argumen atau ide yang disampaikan, bukan dengan menyerang orangnya.
- Empati adalah Kunci: Ingatlah bahwa di balik setiap akun ada manusia dengan perasaan. Apa yang mungkin terasa seperti lelucon bagi Anda bisa jadi sangat menyakiti bagi orang lain.
- Laporkan Bullying: Jika Anda melihat komentar yang jelas-jelas bersifat bullying atau ujaran kebencian, jangan ragu untuk melaporkannya. Ini adalah salah satu cara terbaik untuk menciptakan lingkungan online yang aman bagi semua.
Kesimpulannya, membedakan antara kritik yang konstruktif dan bullying yang destruktif bukan hanya soal etiket, tetapi juga soal empati dan rasa hormat.
Dengan menumbuhkan budaya berkomentar yang lebih bijak, kita dapat mengubah media sosial dari medan pertempuran verbal menjadi ruang diskusi yang bermanfaat bagi semua orang.(*)