Fenomena makan bareng viral mencerminkan bahwa di era digital, kebersamaan sering kali diukur dari seberapa bagus hasil fotonya, bukan seberapa hangat obrolannya.
Restoran dan Brand Ikut Menangkap Peluang
Tren ini ternyata berdampak besar di dunia bisnis kuliner. Restoran dan kafe berlomba-lomba bikin konsep “instagramable dining” yang cocok buat video TikTok dan vlog.Mulai dari pencahayaan yang estetik, desain meja panjang, sampai makanan dengan warna mencolok yang bikin konten makin menarik.
Beberapa brand besar bahkan bekerja sama dengan influencer untuk menggelar acara “makan bareng komunitas”, demi meningkatkan engagement. Jadi, tren sosial ini perlahan berubah jadi alat promosi yang menguntungkan.
Baca Juga:Diet Air Putih 2025, Tren Kesehatan Viral tapi BerisikoKost Eksklusif Milenial, Gaya Hidup Baru Anak Kota 2025
Fenomena Sosial Baru
Menariknya, fenomena ini nggak hanya muncul di kota besar. Di banyak daerah, komunitas kecil juga mulai mengadakan acara makan bareng sebagai bentuk solidaritas. Bedanya, kalau di kota dilakukan demi konten, di daerah justru lebih terasa makna kebersamaannya.
Hal ini membuktikan bahwa meskipun internet bisa menciptakan tren aneh, ia juga bisa memperkuat ikatan sosial. Bedanya hanya pada niat dan cara menikmatinya.
Dampak Psikologis di Balik Tren
Menurut psikolog sosial, tren seperti fenomena makan bareng viral bisa punya dua efek: positif dan negatif.
Positifnya, orang bisa merasa diterima dan terhubung dengan lingkungannya.
Negatifnya, mereka bisa kehilangan jati diri karena terlalu fokus menyesuaikan diri dengan tren.
Generasi muda sering kali tidak sadar bahwa rasa “ingin diakui” di media sosial bisa membuat mereka stres atau merasa tidak cukup baik. Padahal, makan bareng seharusnya jadi momen santai, bukan ajang pembuktian.
Fenomena makan bareng viral menunjukkan dua hal penting tentang masyarakat digital saat ini: kebutuhan akan kebersamaan, dan dorongan untuk terlihat eksis. Di satu sisi, tren ini bisa mempererat hubungan sosial dan menciptakan kenangan. Tapi di sisi lain, bisa membuat orang kehilangan makna kebersamaan itu sendiri karena terjebak dalam pencitraan.
Mungkin, makan bareng paling bermakna bukan yang direkam kamera — tapi yang diisi tawa tulus dan obrolan tanpa filter. Karena di dunia serba digital ini, momen nyata justru jadi hal yang paling langka.