CIREBON, RAKCER.ID – Pasar keuangan Indonesia mengalami sejumlah tantangan dalam sepekan terakhir, mencerminkan dinamika global yang bervariasi dan pengaruh kebijakan domestik. Untuk itu dalam artikel kali ini kami akan membahas informasi selengkapnya mengenai kinerja reksa dana kini babak belur akibat penaikan suku bunga yang dilakukan BI.
Selama periode ini, kinerja reksa dana cenderung mengalami pelemahan, dengan satu-satunya pengecualian pada reksa dana pasar uang yang mampu mencatatkan penguatan tipis sebesar 0,07 persen.
Hal ini terjadi seiring dengan keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuannya menjadi enam persen, suatu langkah yang di luar ekspektasi pelaku pasar.
Baca Juga:Apple Bersiap Merilis Pembaruan Produk Mac: Apa yang Perlu Anda TahuPertarungan Ketat Pada Pilpres 2024: Kepercayaan Diri Abdul Muhaimin Iskandar dan Dinamika Pemilih yang Fluktuatif
Yuk Simak Kenaikan Suku Bunga yang Dilakukan Oleh BI yang Berpengaruh pada Kinerja Reksa Dana:
Sentimen negatif juga muncul dari rilis data pertumbuhan kredit yang menunjukkan perlambatan, mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Faktor-faktor seperti kenaikan harga bahan pangan dan bahan bakar non-subsidi mempengaruhi keputusan konsumsi masyarakat, yang pada gilirannya dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Di sisi positif, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan peningkatan surplus pada bulan September, terutama didorong oleh perdagangan nonmigas seperti besi, baja, produk logam mulia, perhiasan, dan nikel.
Namun, sektor migas masih mengalami defisit akibat kenaikan impor minyak mentah. Kenaikan harga minyak global yang dipicu oleh pemangkasan produksi oleh OPEC+ dan Rusia juga turut mempengaruhi dinamika perdagangan global.
Di pasar obligasi, terjadi pergerakan bearish dalam sepekan terakhir. Imbal hasil SUN 10 tahun naik sebesar 38 basis poin ke level 7,16 persen, sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga menjadi 6,00 persen.
Meskipun Governor The Fed, Jerome Powell, menekankan bahwa kebijakan moneter belum terlalu ketat dan inflasi belum turun signifikan, investor di pasar obligasi masih menghadapi tingginya ketidakpastian.
Dalam menghadapi tantangan ini, investor di pasar saham diharapkan untuk lebih selektif dalam memilih saham dengan mempertimbangkan fundamental yang masih undervalued. Sementara itu, di pasar obligasi, investor dapat mempertimbangkan obligasi jangka pendek dengan valuasi yang lebih menarik untuk mengurangi risiko dalam kondisi pasar yang tidak pasti.