CIREBON, RAKCER.ID – Kebijakan Jepang untuk membuang air limbah nuklir Fukushima ke laut telah menimbulkan kontroversi yang beragam.
Ini terjadi meskipun Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah mengeluarkan laporan yang mendukung rencana Jepang tersebut.
Sebelumnya, pada tahun 2011, terjadi gempa bumi dengan magnitudo 9,0 yang melanda pantai pulau Honshu di Jepang.
Baca Juga:Hasil Pertandingan Salernitana vs Udinese di Serie A 2023/2024Era Asus Zenfone Berakhir di Zenfone 10, Begini Infonya!
Gempa tersebut menyebabkan lebih dari 18.000 kematian dan merusak pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi.
Sejak saat itu, reaktor telah berhasil didinginkan dan sekitar 1,3 juta ton air limbah yang terkontaminasi telah diproses.
Air ini telah disimpan dalam lebih dari 1.000 tangki, tetapi kapasitas penyimpanannya terbatas. Kini, air tersebut harus dibuang sebagai bagian dari proses penutupan yang sedang berlangsung.
Prinsipnya, pemerintah Jepang secara konsisten telah mengutamakan kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan global.
Untuk itu, Jepang telah menggunakan Advanced Liquid Processing System (ALPS) untuk menghilangkan 62 jenis bahan radioaktif yang berbeda dari air yang terkontaminasi, dan hanya meninggalkan tritium.
Di fasilitas nuklir di seluruh dunia, adalah praktik umum bagi operator untuk membuang air yang mengandung tritium ke sungai dan laut sesuai dengan peraturan dan undang-undang setempat.
Hingga saat ini, jumlah tritium yang paling tinggi dibuang oleh fasilitas nuklir adalah di La Hague, Perancis, pada tahun 2018, dengan jumlah 11.400 triliun becquerels (bq).
Baca Juga:Realme GT 5 Resmi Rilis dan Dibekali Fast Charging 240Watt, Jadi Bakal Bikin Ngecasnya Cepat!Ivan Gunawan Bakal Gelar Fashion Show di 3 Negara, 3 Negara ini Jadi Saksinya!
Ini berbanding dengan jumlah kurang dari 22 triliun bq yang dihasilkan oleh Jepang melalui pengolahan ALPS.
Setiap tahun, sekitar 22 triliun bq tritium akan secara bertahap dibuang dari limbah nuklir Fukushima yang dioperasikan oleh Tokyo Electric Power Co (TEPCO) dalam beberapa dekade mendatang.
Setelah melalui proses pengolahan ALPS dan pengenceran lebih lanjut, air yang dibuang dari limbah nuklir tersebut mengandung tidak lebih dari 1.500 bq tritium per liter air.
Sehingga jumlah ini jauh di bawah standar peraturan Jepang untuk tritium dalam air, yaitu 60.000 Bq/L, yang merupakan batas sesuai rekomendasi internasional.
Sebenarnya, kadar tritium dalam air yang dibuang dari limbah nuklir bahkan lebih rendah daripada jumlah maksimum tritium dalam air minum yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10.000 Bq/L.