BATAM, RAKCER.ID – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah menjelaskan apa yang menjadi pemicu kericuhan di Pulau Rempang, menurutnya awalnya karena sengketa lahan antara BP Batam dan warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Mahfud mengklaim adanya kesalahan dalam penerbitan izin yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Pulau Rempang.
Dia menguraikan bahwa asal-usul legalitas proyek pengembangan pariwisata lingkungan ini bermula dari memorandum of understanding (MoU) antara BP Batam dan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait dengan pengembangan kawasan wisata di pulau tersebut.
Baca Juga:Hasil Pertandingan Portugal vs Luksemburg di Kualifikasi EURO 2024: Portugal Berhasil Lolos dengan Gol Besar3 Pemain yang Bisa Gantikan Antony di Manchester United, Fans MU dan Ten Hag Perlu Tahu
Awal Terjadinya Kericuhan di Pulau Rempang Menurut Mahfud MD
Sebelum tahun 2004, pengembangan wisata di wilayah tersebut telah disepakati pada sekitar tahun 2001-2002 ketika pemerintah memberikan hak pengelolaan dan pengembangan lahan di Rempang kepada pengembang, yakni anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata, PT Makmur Elok Graha (MEG).
Namun, setelah penandatanganan MoU tersebut, Pemda justru mengeluarkan izin-izin kepada pihak lain, yang mengakibatkan aktivitas dan penghuni berkembang di kawasan tersebut.
Oleh karena itu, otoritas mengambil langkah untuk melakukan pengosongan lahan tersebut, karena rencana pengembangan kawasan pariwisata sesuai dengan kebijakan tahun 2001 dan 2002.
“Izin-izin baru yang dikeluarkan setelah MoU [dengan PT MEG] semuanya dicabut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jadi, ada perintah untuk mengosongkan wilayah ini karena akan ada kegiatan sesuai dengan kesepakatan pada tahun 2004 sesuai dengan kebijakan tahun 2001 dan 2002,” kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (11/9/2023).
Sebelumnya, Mahfud sempat menyebutkan bahwa kesalahan telah dilakukan oleh Pemda maupun pemerintah pusat, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dia mengatakan bahwa pihak lain yang mendapatkan izin setelah tahun 2004 sebenarnya tidak berhak atas lahan tersebut.
“Izin penggunaan oleh pihak lain yang seharusnya tidak memiliki haknya itu dibatalkan oleh KLHK, jika tidak salah, sekitar lima hingga enam izin dibatalkan semua karena melanggar dasar hukum. Hal ini lebih tepat dilakukan daripada membiarkan situasi semakin rumit karena izin tersebut sebenarnya tidak sah,” katanya dalam wawancara terpisah di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Jumat (8/9/2023).