Raja Tanpa Mahkota, Cerita Si Penarik Upeti Lebih Kaya dari Sang Raja

Raja Tanpa Mahkota, Cerita Si Penarik Upeti Lebih Kaya dari Sang Raja
Ilustrasi korupsi. Foto: Pinterest/rakcer.id
0 Komentar

Korupsi semakin mengakar di era kolonial. Pada masa tanam paksa (cultuurstelsel) yang diberlakukan oleh Hindia-Belanda, pejabat bumiputra dan kolonial berlomba-lomba memeras rakyat demi memperkaya diri.

Eduard Douwes Dekker, melalui novelnya Max Havelaar, menggambarkan bagaimana pejabat lokal dan kolonial mengeksploitasi rakyat kecil demi keuntungan pribadi.

VOC, yang sering dianggap sebagai awal mula kapitalisme modern, juga tak luput dari praktik korupsi. Gaji yang minim mendorong pejabat VOC untuk memanfaatkan jabatannya demi keuntungan pribadi.

Baca Juga:7 Inspirasi Model Dapur Modern dengan Kompor Tanam yang Fungsional dan EleganNuansa Rumah Amerika di Dapur, 7 Inspirasi Desain Kayu yang Unik dan Menawan

Dirk van Hogendorp mencatat berbagai bentuk pungutan liar dan suap yang dilakukan pejabat VOC, mulai dari denda barang hingga penjualan monopoli komoditas seperti candu dan garam. Ironisnya, praktik korupsi yang meluas ini turut menjadi penyebab utama keruntuhan VOC pada awal abad ke-19.

Korupsi bukan hanya masalah Indonesia. Dalam sejarah global, praktik ini telah mencemari peradaban besar seperti Mesir, Yunani, dan Roma. Namun, di Indonesia, sejarah korupsi menunjukkan bagaimana praktik ini terus berevolusi dari zaman ke zaman, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Perspektif Tokoh Sejarah terhadap Korupsi

Goenawan Mohamad melihat korupsi sebagai “penyakit bersama” yang harus diatasi secara kolektif. Sementara itu, Ong Hok Ham mencatat bahwa akar korupsi di Indonesia bukan hanya terletak pada individu, tetapi juga pada struktur sosial dan politik yang memungkinkan praktik ini berkembang.

Eduard Douwes Dekker, melalui kritik tajamnya dalam Max Havelaar, mengingatkan bahwa korupsi tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga merusak legitimasi kekuasaan.

Sejarah mencatat bahwa korupsi adalah tantangan universal yang membutuhkan solusi sistemik dan kolektif. Dengan belajar dari sejarah, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih bersih dan transparan, di mana korupsi tidak lagi menjadi bagian dari budaya atau sistem pemerintahan.

Mari kita jadikan pelajaran sejarah ini sebagai pijakan untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya

0 Komentar