Hal ini memunculkan kekhawatiran publik, terutama dari kelompok masyarakat sipil, yang menilai kebijakan tersebut dapat membuka peluang kembalinya dwifungsi ABRI seperti di masa lalu. Namun, Adies Kadir menegaskan bahwa revisi ini tidak bertujuan untuk mengembalikan dwifungsi ABRI, melainkan lebih kepada optimalisasi peran prajurit dalam mendukung kebijakan nasional.
3. Keterlibatan TNI dalam Aktivitas Bisnis
Salah satu aspek kontroversial dalam revisi UU TNI adalah kemungkinan keterlibatan prajurit aktif dalam kegiatan bisnis. Wacana ini muncul dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan prajurit. Namun, banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi profesionalisme dan netralitas TNI sebagai lembaga pertahanan negara.
Pengamat militer Al Araf menilai keterlibatan TNI dalam bisnis bisa berisiko menimbulkan konflik kepentingan dan mengancam reformasi militer yang telah dijalankan sejak era reformasi.
Baca Juga:AI Bisa Baca Perasaan Hewan? Begini Terobosan Baru Teknologi!WEB SERIES SIAP DARLING 2025: Misteri Candi, Komedi Seram, dan Pesan Lingkungan yang Ngena!
Sementara itu, pengamat militer lainnya, Khairul Fahmi, menyatakan bahwa keterlibatan dalam bisnis dapat memengaruhi pengambilan keputusan strategis TNI, yang seharusnya murni berdasarkan kepentingan nasional, bukan kepentingan ekonomi institusi.
4. Resistensi dari Kelompok Mahasiswa
Revisi UU TNI mendapat penolakan dari kelompok mahasiswa, yang menggelar aksi unjuk rasa pada Senin (17/2/2025). Mahasiswa menilai bahwa ekspansi peran prajurit dalam jabatan sipil berpotensi mengancam demokrasi dan membatasi ruang gerak reformasi militer yang telah dijalankan selama ini.
Dalam tuntutannya, mahasiswa menolak revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan karena dinilai dapat memperkuat impunitas aparat serta memperlemah pengawasan terhadap institusi militer. Mereka juga mengancam akan melakukan aksi lanjutan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh DPR dan pemerintah.
Beberapa pihak menyoroti bahwa pembahasan revisi UU TNI berlangsung dalam tempo yang terlalu cepat. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, misalnya, menilai bahwa pembahasan ini sebaiknya dilakukan secara lebih mendalam dan partisipatif agar dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH) PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, mengusulkan agar revisi ini tidak dipaksakan dan lebih baik dibahas oleh anggota DPR periode 2024-2029 agar prosesnya lebih matang dan tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
Revisi UU TNI menjadi salah satu agenda prioritas dalam Prolegnas 2025, namun banyak aspek yang perlu dikaji lebih lanjut sebelum disahkan.