CIREBON, RAKCER.ID – Indonesia kembali menjadi sorotan internasional ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Senin, 23 Oktober 2023. Untuk itu dalam artikel kali ini kami akan membahas informasi selengkapnya mengenai kehadiran mahkamah kehormatan mahkamah konstitusi untuk menghadapi tantangan etika di balik putusan kontrofersial.
Keberadaan MKMK menjadi respons terhadap serangkaian laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim MK. Keputusan ini muncul setelah MK memutuskan beberapa perkara uji materiil, termasuk kasus kontroversial mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilu 2024.
Berikut Peran MKMK dalam Hadapi Tantangan Etika di Balik Putusan Kontroversial:
Menurut Juru Bicara MK, Fajar Laksono, formasi MKMK, sesuai dengan aturan internal MK, akan terdiri dari satu hakim MK aktif, satu eks hakim MK, dan satu tokoh masyarakat. Namun, hingga saat ini, nama-nama yang akan mengisi MKMK belum diumumkan.
Baca Juga:Presiden Jokowi Kembali ke Tanah Air Setelah Kunjungan Bersejarah ke Arab SaudiEster Nurumi Tri Wardoyo Melaju ke Semifinal Xpora Indonesia Challenge 2023 dengan Prestasi Memukau
Langkah ini diambil sebagai respons terhadap serangkaian laporan pelanggaran etik yang diajukan oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN), dan Komunitas Advokat Lingkar Nusantara (Lisan).
Proses pengadilan ini berkaitan erat dengan putusan MK pada 16 Oktober 2023, yang mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A terkait Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Putusan ini menuai kontroversi karena membuka jalan bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan keponakan Ketua MK, Anwar Usman, untuk menjadi cawapres di Pilpres 2024. Meskipun enam gugatan lainnya ditolak, putusan ini menciptakan perpecahan pendapat di kalangan masyarakat.
Terkait pembentukan MKMK, Melki Sedek Huang, Ketua BEM Universitas Indonesia, menyuarakan keprihatinan masyarakat terhadap pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh hakim MK. Menurutnya, isu ini tidak hanya tentang legalitas politik, tetapi juga tentang integritas dan keadilan dalam sistem peradilan.
Huang menekankan bahwa penting bagi MKMK untuk memberikan keputusan yang transparan dan adil, sehingga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tidak tergerus.