Soroti Masalah Sungai, Mahasiswa IAIN Cirebon Ikuti Tadarus Konservasi di Saung Wangsakerta

PELESTARIAN SUNGAI. Mengusung tema ‘Sungai dan Kearifan Budaya di Cirebon’ Sekolah Alam Wangsakerta menghadirkan dua narasumber, yakni Rifki Muhammad Nurcholis, Aktivis Muda asal Dusun Karangdawa dan Kang Ipul, Budayawan Cirebon. Serta dimoderatori oleh Nurlaela, pegiat Wangsakerta asal Desa Celancang, Kabupaten Cirebon. FOTO : SUWANDI/RAKYAT CIREBON
PELESTARIAN SUNGAI. Mengusung tema ‘Sungai dan Kearifan Budaya di Cirebon’ Sekolah Alam Wangsakerta menghadirkan dua narasumber, yakni Rifki Muhammad Nurcholis, Aktivis Muda asal Dusun Karangdawa dan Kang Ipul, Budayawan Cirebon. Serta dimoderatori oleh Nurlaela, pegiat Wangsakerta asal Desa Celancang, Kabupaten Cirebon. FOTO : SUWANDI/RAKYAT CIREBON
0 Komentar

“Ada perbedaan mendasar antara pengelolaan sungai di era kerajaan Cirebon dengan pemerintah kolonial Belanda. Perbedaan tersebut terletak pada aspek motif, kepentingan serta tujuan mendasar dalam tata kelola sungai di Cirebon, yang tampak terlihat berbeda sangat tajam antara era kerajaan Cirebon dengan pemerintahan kolonial,” lanjutnya.

Pada era kerajaan Cirebon, sungai-sungai lekat dengan fungsi sosial seperti pembangunan kawasan pemukiman untuk penduduk dan ruang publik.

Sungai dianggap sebagai cikal-bakal awal peradaban saat itu yang dicontohkan pada masa kerajaan pra-Islam di Cirebon dalam membangun kawasan penduduk di wilayah Tegal Alang-Alang yang saat ini bernama daerah Lemahwungkuk.

Baca Juga:Konten Intoleransi Mendominasi, Ini Pesan Staf Khusus Menteri AgamaPerkuat Tri Dharma Perguruan Tinggi, 7 Rektor PTKIN Bertemu di FGD

Pada sekitar tahun sebelum 1400-an masehi, pembangunan kawasan publik seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasa, hingga pembangunan keraton-keraton di Cirebon, yang secara umum, berhubungan dengan eksistensi sungai.

Pada era tersebut juga, sungai punya peran sebagai administrasi kerajaan dalam soal yang berhubungan dengan administrasi batas antar wilayah di Cirebon dan sekitarnya, seperti salah satunya dicontohkan pada wilayah Sungai Kriyan dan Sungai Sipadu sebagai batas Keraton Pakungwati di era Pangeran Cakrabuana.

“Tatkala pemerintahan kolonial Belanda melalui VOC-nya berlangsung pada awal 1700-an, sungai-sungai di Cirebon mengalami perubahan eksistensi,” lanjut Rifky.

Perubahan eksistensi yang dimaksud terletak pada aspek perubahan peran dan fungsi, yang sebelumnya lekat dengan peran dan fungsi sosialnya di era kerajaan Cirebon kemudian bergeser menjadi fungsi kapital.

Hal ini diduga kuat ditunjukkan melalui kebijakan modernisasi sungai-sungai di Cirebon oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari tata ruang kawasan jajahan.

Modernasi sungai di Cirebon memiliki berbagai macam bentuk sejak dari pembangunan drainase, sarana dan prasarana transportasi sungai, waduk hingga bendungan.

Aspek mendasar yang membedakan penataan sungai di era kolonial dengan zaman kerajaan Cirebon tersebut adalah motif dan tujuan utama pemerintah kolonial dalam meletakkan kebijakan terkait sungai untuk kepentingan memperlancar ekspansi bisnis ekspor hasil kekayaan alam dari wilayah Cirebon dan sekitarnya ke pasar internasional.

Baca Juga:Mantan Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon Jadi Guru Besar Ilmu TasawufTak Cuma Fokus Bisnis, PT. EWF Cirebon Juga Peduli Pendidikan dan Anak Berkebutuhan Khusus

Modernisasi sungai oleh pemerintah kolonial memiliki dampak positif sekaligus negatif. Dipaparkan dalam buku yang dibedah ini.

0 Komentar