Tantangan Pelanggaran Etika dalam Mahkamah Konstitusi: Perlukah Perubahan dalam Komposisi Majelis Kehormatan?

Mahkamah Konstitusi
Kepercayaan publik terhadap MK adalah salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas dan demokrasi di Indonesia. Foto: Pinterest/RAKCER.ID
0 Komentar

CIREBON, RAKCER.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga tinggi yang memiliki peran penting dalam menjaga supremasi konstitusi dan hak-hak warga negara. Untuk itu dalam artikel kali ini kami akan membahas informasi secara lengkap mengenai tantangan pelanggaran etika dalam mahkamah konstitusi.

MK memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan konstitusi dan hukum di Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, MK harus berpegang pada etika dan moralitas yang tinggi. Namun, dalam beberapa kasus, terjadi pelanggaran etika yang menimbulkan keraguan terhadap marwah MK.

Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan apakah perlu perubahan dalam komposisi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk lebih efektif menangani pelanggaran etika.

Baca Juga:French Open 2023 Super 750: Indonesia Bersiap Tempur di Rennes, PrancisKinerja Reksa Dana Kini Babak Belur Akibat Penaikan Suku Bunga yang DIlakukan BI

Perlukah Perubahan dalam Komposisi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi:

Pada Selasa pagi (24/10/2023), Senator DPD yang membidangi hukum, Abdul Kholik, mengungkapkan keprihatinannya terkait penanganan pelanggaran etika di MK. Ia menyoroti bahwa sanksi yang diberikan kepada hakim MK yang melanggar etika terkadang tidak maksimal.

Sebagai contoh, dalam kasus pelanggaran etika hakim MK yang diduga melakukan pemalsuan putusan, sanksi yang diberikan hanya berupa peringatan ringan. Hal ini, menurut Abdul Kholik, mengancam marwah MK dan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.

Kholik juga menunjukkan bahwa komposisi MKMK saat ini mengandalkan unsur hakim aktif dalam menilai pelanggaran etika. Namun, dia berpendapat bahwa ke depan, perlu mempertimbangkan apakah hal ini masih relevan.

Karena komposisi MKMK yang melibatkan hakim aktif berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Oleh karena itu, alternatif yang bisa diambil adalah dengan melibatkan mantan hakim MK dalam MKMK untuk menilai pelanggaran etika. Hal ini diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih independen.

Poin penting yang diajukan oleh Abdul Kholik adalah perlunya memberikan sanksi yang lebih tegas dan sesuai dengan tingkat pelanggaran etika yang dilakukan oleh hakim MK. Kasus terkait putusan batas usia wakil presiden adalah contoh konkret bagaimana pelanggaran etika dapat menggerus kepercayaan publik terhadap MK. Oleh karena itu, sanksi yang diberikan harus maksimal dan sesuai dengan tingkat pelanggaran.

0 Komentar