RAKYATCIREBON.ID –Sejumlah kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) mendesak DPRD agar menerbitkan peraturan daerah (perda) yang dapat dijadikan payung hukum bagi para penyandang disabilitas.
Ketua Gugus SLB Kabupaten Indramayu, Dra Ciciharningsih MPd mengatakan, aspirasi yang dibawa para kepala SLB ke gedung legislatif mencakup beberapa hal.
Adapun prioritas yang juga dianggap mendesak, yaitu regulasi berupa perda sebagai payung hukum bagi para siswa SLB. Terutama pada pasca menempuh pendidikannya.
Baca Juga:Bupati Cirebon Salurkan CSR BPR AstanajapuraKiprah Mahasiswa PIAUD IAIN Cirebon Diakui di Kancah Nasional
“Anak-anak didik kami pada pasca sekolah selalu sulit untuk bekerja, baik di swasta maupun pemerintahan, terkesan tidak ada perhatian sama sekali. Jadi belum apa-apa karena kondisinya cacat tidak dilirik, padahal perlu melihat dan mempertimbangkan kemampuannya,” jelasnya.
Sebetulnya, kata Cicih, anak-anak didiknya memiliki potensi yang sangat luar biasa sekali. Bahkan ia yang notabene Kepala SLB Mutiara Hati khusus tuna rungu bisa membuktikan anak didiknya mumpuni.
“Ada yang juara kompetisi IT nasional, provinsi tentu, kabupaten pasti. Anak-anak kami sebetulnya sangat bisa berkompetisi dan bersaing di dunia kerja dengan masyarakat pada umumnya. Tapi belum apa-apa perusahaan sudah apriori, bahwa kondisi cacat dipandang tidak memiliki kemampuan. Padahal dibalik keterbatasan itu pasti ada kelebihan yang tidak mungkin setiap orang punya,” ungkapnya.
Menurutnya, payung hukum diperlukan agar anak-anak SLB secara pendidikan dan kehidupannya bisa terpayungi. Juga bisa melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sama dengan orang normal pada umumnya.
“Intinya kami tidak ingin peserta didik kami termarjinalkan karena hal yang dipandang tidak seperti pada umumnya. Peserta didik kami harus sama dengan masyarakat lainnya. Jadi jangan dianggap sebagai masyarakat nomor dua,” ujarnya.
Selain itu, untuk tempat layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas dipastikannya masih kurang. Sehingga jarak 6 SLB yang ada di Kabupaten Indramayu sangat berjauhan dan tidak mungkin bisa memberikan pelayanan secara menyeluruh.
Bagi masyarakat pun tidak jarang yang harus menempuh jarak 20 sampai 30 kilometer dari kediamannya ke lokasi SLB terdekat. Kondisi ini menjadi persoalan termasuk timbulnya kemalasan.
Baca Juga:Jabar CONNECTI:CITY 2022 Hidupkan Semangat Dasasila BandungDukcapil Patas Berikan Adminduk untuk Lansia dengan Cepat
Jika memang semua pihak berniat untuk bersama-sama menjadikan pendidikan wajib belajar 12 tahun, semestinya kondisi yang ada dapat diatasi.